JAKARTA, BERITAKOTA.COM – Kultur (budaya) Indonesia diakui masih feodal, dan hal itu tidak bisa dipungkiri karena Indonesia mengalami kolonialisme yang berdampak pendangkalan dalam ingatan masyarakat. Karenanya, tidak heran bisa dalam Pemilihan Presiden yang akan digelar pada 14 Februari 2024, masyarakat terkesan permisif hingga orang-orang yang anti demokrasi bisa memanfaatkan untuk kepentingan kekuasaan bagi dirinya atau kelompoknya.
Peneliti Politik PARA Syndicate Ari Nurcahyo mengakui, pedangkalan yang terjadi dalam masyarakat karena tidak ada pegangan dan rendahnya literasi yang mengakibatkan masyarakat lupa akan masa lalu yang membungkam demokrasi selama puluhan tahun.
Dampaknya, lemahnya ingatan secara kolektif masyarakat dimanfaatkan bagi pelaku anti demokrasi dan kemanusiaan dalam merebut kekuasaan di dalam masyarakat.
“Kita akan mengalami bonus demografi pada tahun 2030 dan 2045. Namun, jika demokarsi dibajak oleh para pelaku kejahatan masa lalu apakah Indonesia akan meraih bonus demokrasi menuju Indonesia emas, atau sebaliknya ke masa kelam,” kata Ari, dalam diskusi bedah buku bertajuk “Awam Merah: Catatan Sepanjang Jalan”, yang ditulis Rohaniawan dan Budayawan Baskara T. Wardana sj, di Kantor PARA Syndicate, Jakarta, Jumat (17/11/2023).
Ari juga mengingatkan, agar berhati-hati kepada orang-orang yang mengaku reformis, namun pada hakekatnya menghianati cita-cita reformasi itu sendiri yang berdampak pada upaya orang-orang anti demokrasi yang memanfaatkan demokrasi untuk kepentingan kekuasaan.
“Mereka berkhianat dengan mendukung orang-orang yang dimasa lalu adalah pelaku anti demokrasi. Pada tahun 1965 terjadi kudeta politik dari Soekarno hingga terbentuknya rejim Orde Baru. Tapi tahun 2023 ini, kudeta eksekutif dimana mengontrol lembaga legislatif dan yudikatif. Kekuasaan Eksekutif mengontrol lembaga politik,” imbuh Ari.
Diakui Ari, bahwa dalam kontestasi Pemilu 2024 telah terjadi kedangkalan demokrasi yang terjadi karena kesadaran sejarah yang rendah, tetapi sebaliknya adanya kekuasaan kelompok-kelompok tertentu.
Hal senada yang dikemukakan pegiat Hak Asasi Manusia (HAM) Antari Arma, bahwa peristiwa Rempang menjadi perhatian publik karena adanya menempatkan manusia dengan standar rendah sehingga upaya kekerasan di Rempang tidak terhindari.
“Tidak boleh peristiwa kemanusiaan ditempatkan dalam standar yang rendah, apa yang terjadi di Pulau Rempang adalah kita menangkap empati kemanusiaan,” ucap Antari.
Antari mengimbau, agar para sejarawan dalam menulis setiap peristiwa tidak mengabaikan nilai-nilai kemanuisaan. Menurut dia, tidak bisa menyamakan matinya manusia dengan hewan sehingga manusia bila meninggal tidak direndahkan.
Baskara mengatakan, bahwa kekuasaan adalah dimaknai dalam kemanfaatan bagi masyarakat, bukan tanpa subtansi kemanusiaan sehingga tidak terjadi kemiskinan spiritual.
Alumnus Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologia (STFT) “Driyarkarya” Jakarta ini mengimbau agar dalan konstestasi Pemilu 2024 tidak terjadi kekacauan yang membuat Indonesia sebagai bangsa akan rugi dengan masuknya perusaan asing ke Indonesia.
“Kalau pemilu itu kacau maka seringkali perusahaan asing masuk dalam neoliberalisme perusahaan-perusahaan. Jika terjadi perang maka yang diuntungkan adalah para pengusaha pembuat senjata, dan ini jangan sampai terjadi karena yang rugi adalah rakyat. Para pemilik senjata inginnya perang berkepanjangan,” tutur Baskara.
Sejarawan Bonnie Triyana mengakui, Indonesia adalah negara yang kaya akan kebudayaan dan spiritual yang tidak bisa dipungkiri sehingga Presiden Indonesa yang juga Proklamator Indonesia Soekarno mengakui bahwa Indonesia negara yang berketuhanan dan berkebudayaan, dimana ada nilai-nilai spritualitas yang tidak bisa dinafikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
“Harus dikaui bahwa literasi kita rendah, walau pun spiritual kita kaya tapi imajinasi kita rendah. Rata-rata masyarakat kita, khususnya di Banten rata-rata pendidikan SD, stunting tinggi, dan pernikahan dini tinggi. Ini menjadi pekerjan rumah yang harus diatasi dengan baik,” ujar Bonnie. (Ralian)