JAKARTA, BERITAKOTA.COM – Rencana pencalonan Anies Baswedan pada Pilgub Jakarta urung dilakukan oleh partai politik. Padahal paska putusan MK nomor 60, yang menurunkan ambang batas suara, sedikitnya ada delapan parpol di Jakarta yang bisa mengusung sendiri tanpa berkoalisi.
Gagal mendapat tiket di Jakarta, karisma Anies rupanya masih kinclong. Ia disebut-sebut didukung PDIP di Pilkada Jawa Barat. Namun Anies menolak tawaran tersebut.
Pengamat Pemilu dari Rumah Demokrasi Ramdansyah mengatakan banyak persoalan dan pertimbangan yang dilakukan partai politik untuk mengusung Anies Baswedan pada pilkada 2024.
“Dalam kasus Anies itu kemudian menjadi sebuah contoh mau nggak ini kemudian misalkan PKB yang awalnya akan mengusung Anies di Jakarta, kira-kira gitu. Berani nggak kemudian PKB keluar dari jeratan tanda kutip yah, jeratan KIM Plus. Karena, satu dia tidak akan mendapatkan kursi, kedua seperti Airlangga Hartarto kemudian kasus CPO dimunculkan lagi, kasus duren misalkan yang ditujukan kepada Cak Imin bisa muncul lagi,” ujar Ramdansyah saat Diskusi interaktif di Radio Elshinta, dengan tema Menyoroti Koalisi Indonesia Maju yang tidak solid pada Pilkada serentak 2024, sebenarnya apa yang terjadi, Kamis (29/8/2024) malam.
“Akhirnya kan Cak Imin nggak berani untuk kemudian memberikan dukungan.
Walaupun dia bisa jalan sendiri kepada Anies. Itu tidak berani bahkan kemudian dalam konteks Senin 26 Agustus lalu jam 13.00 semua publik menanti, Megawati akan mengumumkan Anies atau tidak. Saya melihat tidak terjadi itu tuh. Bahkan Megawati saja membuat pilihan itu Pramono dan Rano Karno,” sambung Ramdansyah yang juga
mantan Ketua Panwaslu Provinsi DKI Jakarta di Pilgub DKI 2012 lalu.
Pendiri Rumah Demokrasi ini mengatakan, ketika pemilu legislatif dan pilpres kita sepakat bahwa Koalisi Indonesia Maju (KIM) sebenarnya adalah Gerindra, yang kemudian menjadi leader, Golkar dan seterusnya.
“Tetapi ketika sudah terpilih pak Prabowo dan Gibran, nah KIM plus ini kan mau menyerap yang lainnya, tambahan itukan seperti kita ketahui partainya itu ada PKS, PKB, Perindo dan satu lagi lah. Yang tentu saja inikan berharap ingin mendapatkan kursi di kabinet pak Prabowo nanti setelah 20 Oktober. Jadi tujuannya adalah kursi kabinet. Jadi koalisi ini adalah koalisi paska penetapan 20 Oktober. Atau koalisi untuk pemerintahan lima tahun kedepan, bukan pada yang namanya koalisi di Pilkada,” jelas Ramdansyah
“Karena pilkada itu sebenarnya kan cair. Nah ini yang kemudian KIM Plus juga ingin “memaksakan” bahwa dengan sebelum keputusan MK nomor 60 ingin memaksakan juga minimal mereka juga masuk kedalam KIM Plus,” sambungnya.
Misalkan PDI-P yang kemudian digadang gadang akan dijegal di Jakarta, kemudian di beberapa daerah lain mengingat PDIP tidak bisa mencalonkan karena suaranya di bawah 20 persen untuk mencalonkan sebagai kepala daerah.
“Tetapi putusan MK nomor 60 dan kemudian tambahannya yang 70 menurut saya itu menarik. Sehingga Partai Politik yang tergabung dalam KIM Plus seolah olah mendapatkan kesempatan mau bergabung di KIM plus untuk paska 20 Oktober setelah pak Prabowo dilantik atau kemudian sekarang bisa bermain karena peluang untuk yang 10 persen, kemudian 8,5 persen, 7,5 persen, 6,5 persen,” jelas Ramdansyah.
Di Jakarta, PDIP dengan 14 persen suara yang diperoleh bisa untuk mengusung sendiri. Bahkan partai-partai lain juga bisa . Misalkan PSI yang ada di KIM Plus juga bisa.
“PSI itu diatas 7,5 persen di Jakarta, dia bisa mengusung calonnya sendiri atau kadernya sendiri. Inikan menarik baik yang diluar maupun di dalam KIM bisa mengusung yang namanya calonnya,” terang Ramdansyah.
“Kemudian keluar dari konteks KIM plus itu sendiri nah itu yang kemudian jadi katakan lah pak Prabowo yang sudah terpilih tinggal melihat saja. Mana yang loyal atau tidak,” sambungnya.
Sehingga kemudian akan ada kocok ulang ketika pemerintahan Prabowo nanti menyusun kabinet. Mereka yang di luar KIM atau KIM Plus saat ini bisa masuk walaupun dapat kursi wakil menteri (wamen)
“Yang kedua saya mau menggambarkan pada koalisi KIM plus ini sebenarnya Prabowo heavy, condong pada pak Prabowo. Tetapi pada KIM itu sebenarnya walau pun ada pak Prabowo tetapi ada yang namanya pak Jokowi. Jadi antara Jokowi dengan Prabowo sebenarnya Jokowi heavy lebih berat condong kepada Jokowi. Karena dia kemudian bisa meng endorse anaknya untuk menjadi wakil presiden,” ujar Ramdansyah
“Tapi besok posisi KIM Plus dan kemudian pak Prabowo heavy pada akhirnya akan menjadi Prabowo semua, karena apa pak Jokowi sudah tidak ada (sudah tidak menjadi presiden),” beber Ramdansyah.
Dalam kasus Anies itu, kemudian menjadi sebuah contoh , mau nggak ini kemudian misalkan PKB yang awalnya akan mengusung Anies tiba tiba berbalik arah, kira kira gitu.
“Berani nggak kemudian PKB keluar dari jeratan tanda kutip yah, jeratan KIM Plus karena satu, dia tidak akan mendapatkan kursi, kedua seperti Airlangga Hartarto kemudian kasus CPO dimunculkan lagi, kasus duren misalkan yang ditujukan kepada Cak Imin bisa muncul lagi. Akhirnya kan Cak Imin nggak berani untuk kemudian memberikan dukungan. Walaupun dia bisa jalan sendiri kepada Anies, itu tidak berani. Bahkan kemudian dalam konteks ini, pada Senin 26 Agustus lalu jam 13.00 semua publik menanti, Mega akan mengumumkan Anies atau tidak. Saya melihat tidak terjadi itu tuh bahkan Megawati saja membuat pilihan itu Pramono dan Rano Karno,” terang Ramdansyah
“Dimana Pramono Anung kita ketahui di kabinet. Artinya dia bisa menjadi jembatan antara pak Jokowi dan kemudian pak Prabowo dan Megawati. Sehingga kemudian saya berasumsi ibu Mega saja masih punya posisi tawar tidak berani kemudian untuk melawan ini, masuk KIM Plus itu ada celah. Pada akhirnya saya mau bilang bahwa sebenarnya yang namanya koalisi itu adalah kompromi,” imbuhnya.
Kompromi itu, lanjutnya, kemudian bisa diukur dengan masing-masing partai politik mengukur dirinya. Mau tidak masuk dalam koalisi yang bentuknya kompromi seperti ini.
“Kompromi itukan pertemuan para pihak yang terjadi antar pihak. Kami sepakat untuk menyokong, mendorong misalkan Prabowo kemudian Gibran itu pada mix sebenarnya. Tapi hari ini pilkada sebenarnya agak cair, tapi kenapa tidak berani melakukan itu. Yah bukan ewuh pakewuh banyak persolan tadi sudah disampaikan. Persoalannya jeratan hukum, kemudian kursi pada kabinet berikutnya,” ujarnya
Ramdansyah mengatakan, hari ini sebenarnya diuji apakah karisma versus yang namanya birokrasi, itu teorinya Max Webber, yang kuat yang mana.
“Pada era modern ini sebenarnya harus kuat adalah terkait dengan pemerintah, berarti birokrasi. Yang kemudian karisma dalam bentuk tradisional misalkan Anies punya karisma lebih tradisional menurut saya dia tidak megang jabatan formal, dia juga bukan anggota partai. Hari ini terkait Anies, sebagian senang Anies di dorong di Jawa Barat atau di Jakarta. Ini di fans beratnya Anies, masih ingin Anies jadi gubernur di Jakarta ataupun Jawa Barat. Sebagian lagi tidak,” tandasnya. (Agus)