JAKARTA – Residunya ciptakan kulit putih miskin, membuat Amerika Serikat Kapok berurusan dengan Taliban. Tak pelak, Afghanistan ditinggalkan. Benar nggak sih, Taliban ini sebuah negara teroris seperti yang disangka oleh Amerika.
Ketua Umum Partai Gelora Anis Matta mengatakan hal tersebut saat jadi narasumber saat DPP KNPI gelar diskusi publik aktual bertajuk “Taliban, Gerakan Islam dan Masa Depan Geopolitik Global” via zoom, Kamis 9 September 2021.
Narasumber lain dalam diskusi tersebut adalah Pengamat Politik dan Kajian Timur Tengah Ramdansyah dan Pengamat Politik Rocky Gerung. Adapun keynote speaker adalah Ketua DPP KNPI Haris Pratama.
“Ada empat poin menarik yang terkait Taliban ini. Pertama soal alasan penarikan pasukan Amerika dari Afghanistan. Tentu saja kita bisa mengatakan bahwa, memang Amerika Relatif kapok disana ya. Perlawanan tiada henti, resistensi terus menerus dan kerugian yang luar biasa besarnya, yang diterima Amerika,” katanya.
Anis Matta menjelaskan, alasan utama ditariknya pasukan Amerika Serikat dari Afghanistan ini adalah koreksi terhadap keseluruhan strategi geopolitik. Mengingat polisi dunia ini sedang ada masalah besar. Pertama ketimpangan ekonomi di dalam negeri, yang penyebabnya bukan sekedar masalah ekonomi, tetapi bisa mengubah struktur sosial yaitu penciutan kelas.
“Sehingga sekarang muncul kelas. Kelompok orang kulit putih miskin, dan inilah dulu yang menjadi sebab kenapa Donald Trump menang pada Pilpres 2016. Walau akhirnya kalah pada Pilpres 2020,” katanya.
Tetapi residu dari persoalan ini sampai saat ini masih ada. Ini yang selanjutnya disebut sebagai Trumpisme, dan ini menjadi tantangan besar bagi Joe Biden.
Karena itulah, belanja besar yang dihabiskan Amerika Serikat di Timur Tengah sekarang jadi persoalan moral bagi seluruh elite politik. Uang negara dibuang-buang di luar negeri, sementara rakyat di dalam ngeri miskin.
“Masalah ketimpangan ekonomi ini, masalah yang sangat fundamental bagi pemerintah Biden,” ungkapnya.
Tidak hanya itu, kekuatan global baru yang dicap sebagai masalah ekonomi Amerika adalah masalah Cina. Karena itu juga akhirnya dilakukan penarikan pasukan dari Timur Tengah.
“Sebelumnya Irak, setelah itu diikuti Amerika,” jelasnya.
Mantan Politisi PKS ini menerangkan penarikan pasukan dari Afghanistan adalah suatu langkah peralihan fokus geopolitik dari Timur Tengah ke Cina. Terlebih 2015 lalu, Amerika secara resmi menyatakan Cina sebagai musuh utama, dan karena itu war of teror (perang terhadap terorisme) saat ini tidak ada lagi relafasinya.
Dengan mengetahui dua alasan utama yang membuat Amerika Serikat menarik pasukannya dari Afghanistan, perlu bagi Indonesia untuk mengetahui implikasinya.
“Kalau, Amerika sekarang akan fokus ke Cina, sedangkan kita bisa mengerti, bahwa perang supremasi ini akan menjadi pemicu utama dibalik semua peristiwa peristiwa Geopolitik penting, yang akan terjadi di masa yang akan datang. Dan, Saya kira, yang perlu kita antisipasi nanti di kawasan kita,” terangnya.
Poin itu, kata Anis penting sekali, karena Wakil Presiden Amerika Serikat, Kemala Harris 22 Agustus 2021, kemarin saja melakukan kunjungan ke Singapura untuk mengkonfirmasi kembali seluruh sekutu-sekutunya di kawasan Asia. Walaupun sebetulnya sekutu-sekutu di kawasan sebelumnya sudah ada.
“Itu cara Amerika membuat pengelompokan,” terangnya.
“Jadi peralihan pada fokus ke Cina ini, pasti akan mempunyai dampak kepada kita di Indonesia,” tambahnya.
Sementara itu, Pengamat Politik dan Kajian Timur Tengah Ramdansyah mengatakan bicara tentang kekuasaan pasti ada perlawanan. Rumusnya memang seperti itu, ketika bicara kuasa, maka ada kontranya, yaitu kontra kuasa.
“Benar nggak sih, Taliban ini sebuah negara teroris seperti yang disangka oleh Amerika. Ini yang kemudian. Kita, tidak perlu terjebak pada itu semua. Apalagi kalau kita bicara seperti suku Maya yang dia bilang be on of history,” katanya.
“Mau demokrasi liberal hari ini. Maupun kapitalismenya bagian akhir dari sejarah. Komunis sosialis. Kemudian islam dengan isme lainnya. Islamisme merupakan sebuah tesis anti tesis yang sudah berakhir. Yang sekarang disebut demokrasi adalah demokrasi liberal yang Amerika sebagai komandannya,” tambahnya.
Sementara itu, Pengamat Politik Rocky Gerung mengatakan Anis Matta memulai suatu uraian yang bersifat membaca paradigma.
“Di dalam pertandingan, sebut saja pertandingan ideologi dunia. Setelah Amerika berupaya untuk mengadaptasikan doktrin war on teror lau bertemu dengan global pandemi. Lalu kita berupaya untuk membaca apa yang terjadi di dalam ruang-ruang sidang strategis di Amerika. Sehingga isu itu kemudian dijadikan bahan untuk menganalisis Prospek perdamaian dunia. Prospek demokrasi dunia. Prospek ekonomi dunia. Itu soal-soalnya yang secara bagus diuraikan oleh Anis Matta,” terangnya.
Ramdansyah, kata Rocky kembali, telah memberi kita perspektif yang juga amat tajam. Yaitu antropolitikal note. Yang biasanya kalau orang belajar antropologi, dia akan ambil posisi yang culture mater. Karena itu, tidak salah kalau seorang antropolog going notif, dalam membaca fenomena di Afghanistan.
“Jelas bahwa kita punya perlengkapan politik, perlengkapan metodologi untuk melihat masalah Taliban ini dengan menempatkan dalam upaya untuk membaca arah Indonesia,” katanya.
“Saya sebut arah Indonesia. Karena Indonesia sendiri, lagi nggak punya arah hari ini. Dia nggak tahu, mau apa, dengan Taliban, dan kita nunggu ada semacam komentar cerdas dari Menteri Luar Negeri, atau Menko Polhukam itu tidak ada keluar. Apalagi dari Presiden. Karena seolah-oleh Indonesia, jadi dungu di depan politik dunia,” ungkapnya. (BK/Amh)