JAKARTA, BERITAKOTA.COM – Dalam konteks hukum yang belum ideal, para advokat memiliki kewajiban moral dan profesional untuk memperjuangkan keadilan.
“Jika ada hirarki antara hukum dan keadilan, saya akan selalu memilih keadilan,” kata Advokat Senior Todung Mulya Lubis, dalam diskusi bertajuk “Mengoptimalkan Fungsi Advokat sebagai Guardian of Human Rights dalam RUU KUHAP”, yang digelar oleh lembaga Budidjaja Institute bekerja sama dengan LSM Law Office, di SCBD Jakarta, Selasa (15/4).
Diskusi dimoderatori oleh Fredrik J. Pinakunary. Hadir narasumber lainnya, Akademisi Fakultas Hukum Universitas Trisakti Albertus Aries.
Lebih lanjut, Todung juga juga menyoroti perbedaan antara rule by law—yang bisa menjadi alat kekuasaan yang menindas—dan rule of law yang menjamin keadilan substantif.
Menurutnya, ekosistem penegakan hukum di Indonesia masih koruptif, dan hal ini menjadi ancaman serius ketika substansi hukum dan pelaksanaannya sama-sama bermasalah.
Sementara itu, Akademisi Fakultas Hukum Universitas Trisakti Albert Aries menggarisbawahi bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) merupakan ‘konstitusi mini’ yang menjadi landasan utama sistem peradilan pidana.
Albertus mendorong agar pembaruan KUHAP dapat mengurangi potensi penyalahgunaan wewenang oleh aparat. Menyinggung isu suap dalam peradilan, dengan tetap mengedepankan praduga tak bersalah.
Albertus sangat menyayangkan dugaan penerimaan suap oleh oknum hakim yang selama ini memperjuangkan kenaikan gaji hakim.
Dia berharap penyidik kejaksaan dapat mengungkap semua pihak yang terlibat untuk dimintakan pertanggungjawaban guna mengembalikan kepercayaan masyarakat.
“Jika celah dan kesempatan untuk menyuap masih ada, maka menyuap akan dianggap lebih murah daripada membayar pidana pengganti yang nilainya triliunan,” tambahnya. (Ralian)