LASEM, BERITAKOTA.COM – Perjalanan dengan kendaraan bus dari Semarang menuju Lasem, di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah ditempuh selama kurang lebih 4 jam. Karena berada di kawasan Pantura, maka kepadatannya cukup sibuk. Truk dan bus-bus besar mendominasi jalan pantura itu.
Sekira pukul 14.30 WIB tiba di kota yang dijuluki Tiongkok Kecil, suasana dengan aura Tionghoa memang terasa sekali. Turun di depan Masjid Kauman yang melegenda itu, berjalan kaki menuju hotel yang bernama Hotel Merah Heritage di Jalan Karangturi. Ini hotel yang berada jaraknya tak jauh dari jalan utama Pantura.
Beberapa sumber menyebut bahwa pemukiman warga Tionghoa yang menjadi pusat Lasem dulunya tersebar di lima desa, yaitu Desa Soditan, Karangturi, Sumbergirang, Babagan, dan Gedongmulyo. Secara khusus di Desa Soditan karena berdekatan Kelenteng Cu An Kiong, tak jauh dari Sungai Lasem. Sungai ini menurut berbagai sumber, dulunya menjadi pelabuhan bagi kapal-kapal dagang dari Cina. Namun yang dikunjungi adalah pemukiman Tionghoa di Jl.Karangturi.
Soal warga Tionghoa di Lasem, mengutip sumber ‘Arsitektur Tradisional Tionghoa dan Perkembangan Kota’ tulisan Prawito menyebut, warga Tionghoa sudah ada pada awal abad ke-14 di Pulau Jawa yang membentuk koloni kecil di pinggir pantai. Buku itu menjelaskan bahwa orang Tionghoa mendarat pertama kali di sekitar pantai sebelah timur laut Jawa Tengah (Lasem) yang menjadi pusat perdagangan di Asia Tenggara pada masa itu. Mereka datang menggunakan perahu kecil yang bergantung pada angin musim, akibatnya mereka harus menunggu angin utara untuk bisa kembali ke kampung halamannya. Selama menunggu angin itulah sebagian warga Tionghoa pendatang itu terpikat pada perempuan setempat hingga menikah. Lambat laun terbentuklah permukiman orang Tionghoa yang disebut Pecinan, yang berdampingan dengan permukiman pribumi.
Tak heran, warga Tionghoa Lasem diperkirakan menjadi warga tertua di Jawa Tengah yang sudah berakulturasi di sana.
Bentuk bangunan yang sama
Menelusuri Jalan Karangturi, sejumlah bangunan yang memiliki tinggi rata-rata 2 sampai 3 meter dengan tembok-tembok tebal rata-rata hampir mirip secara fisik. Ada pintu gerbang yang tertutup rapat tembok bagian depan dan ketika dibuka, maka terdapat halaman yang luas. Lalu ada 3 pintu utama dan di dalamnya dua kamar besar di bagian kiri dan kanan. Selalu seperti itu.
“Saya generasi ke 5 dari kakek buyut saya yağın tinggal di rumah ini. Secara bentuk memang rumah-rumah warga Tionghoa seperti ini. Tinggi temboknya 3 meteran, pintu gerbangnya yang rapat dengan tembok rumah bagian depan, lalu ada halamann depan dan rumahnya selalu punya tiga pintu. Saya juga tidak atau artinya tapi kalau Anda masuk ke rumah-rumah Tionghoa di Lasem ini ya sama. Tiga pintu depan dan dua kamar besar sebelah kiri dan kanan. Saya lahir tahun 1942 dan rumah ini tidak berubah. Yang berubah adalah karena saya membuka restoran ini. Banyak rumah-rumah warga Tionghoa yang Judah berubah fungsi, kebanyakan untuk berdagang,” kata pak Wi pemilik restoran Hokki di Jl Karangturi, Lasem.
Lalu pak Wi bercerita ketika ia kecil. Suasana Lasem yang dulunya adalah Kabupaten dan Rembang adalah kecamatan. “Saat ini kebalik. Lasem jadi Kecamatan dan Rembang jadi Kabupten. Tapi sejak dulu yang Lasem ini hampir 80 persen adalah warganya Tionghoa dan 20 persen warga asli dan pendatang,” ungkapnya.
Kata dia lagi, suasana kota dagang di Lasem ini sangat terasa. “Kalau Anda sudah mampir ke rumah merah itu, memang sejak dulu pemiliknya Ibu Ong yang adalah perajin batik. Lalu dibiarkan dan kemudian dibeli oleh orang lain dan sekarang jadi tempat batik,” katanya sambil menunjukan kondisi rumahnya yang memang masih asli sejak ia lahir.
Apa yang disampaikan pak Wi salah satu warga di Lasem ini memang sesuai faktanya. Saat berkunjung ke Rumah Merah yang adalah toko batik dan penginapan, bangunan di bagian depan dan dalam tak berubah. Yang berubah adalah kamar-kamar yang disewakan yang telah direnovasi sehingga terkesan modern. Rumah ini jadi sentra batik tulis yang paling banyak dikunjungi wisatawan dari luar kota.
Selain Restoran Hokki, Rumah Merah, ada pula Cafe Rumah Oei. Tempat ngopi sekaligus menyediakan penginapan bagi para pengunjung. Seperti rumah warga Tionghoa lainnya, dari depan, nampak kecil, namun ketika masuk ke dalamnya, maka akan kaget dengan dekorasi, kondisi rumah yang masih dibiarkan seperti asli sehingga membuat pengunjung betah berlama-lama di tempat itu.
Museum Nyah Lasem
Bangunan museum ini merupakan tempat tinggal yang kemudian oleh pemiliknya dijadikan museum untuk menampung informasi dan benda-benda sejarah berkaitan dengan batik. Agik NS sebagai pengelola museum dan para sukarelawan yang bekerja di tempat itu dengan senang memberikan informasi kepada pengunjung berkaitan dengan sejarah batik di Lasem.
Sama seperti bangunah Resto Hokki milik pak Wi, bangunan museum memiliki material kayu ukuran tebal dengan rangka rumah seperti tiang dan pintu yang cenderung tinggi. Sementara lantainya berbahan tegel, dindingnya perpaduan tembok dan papan kayu yang juga ukuran tebal.
Agik NS bercerita, museum ini menempati bangunan atau rumah tradisional Tionghoa yang diperkirakan berdiri tahun 1780-an. Dibeli oleh keluarga Tio Swan Sien tahun 1940 dan dimanfaatkan sebagai museum sejak 2016.
“Di sini dikoleksi Canting kuno yang usianya lebih dari seabad. Ada pula Cap Batik kuno. Juga ada batik dari berbagai era (awal akhir abad 19 – pertengahan abad 20). Juga museum ini menyimpan peralatan dan perlengkapan membatik jaman dulu, surat-surat dagang batik Lasem dań juga koleksi peralatan dapur jaman dulu,” kata Agik.
Museum Lasem dijalankan oleh Yayasın Lasem Heritage yang mendapatkan mandat dari pemiliknya, yaitu Tio Swan Sien. Jika masuk kawasan ini, ada ruang-ruang yang menyimpang sejumlah jenis-jenis batik, peralatan batik dan juga peralatan dapur zaman dulu, persis yang dijelaskan Agik.
Arsip surat-surat dagang batik Lasem yang dijelaskan berjumlah 196, terdiri dari korespondensi, bukti pembayaran, catatan rekapitulasi, tagihan firma perjalanan, dan foto dalam tiga bahasa yaitu Belanda, Cina, serta Melayu Pasar.
Yang juga menarik yang dioamerkan, ada rangkaian tahun perkembangan batik dari zaman dulu hingga saat ini. Seperti alur yang meliuk-liuk, sehingga pengunjung dapat mengetahui alur perkembangan batik Lasem hingga menyebar ke seluruh Indonesia. Jadi melengkapi saat berkunjung ke Lasem harus juga ke Museum Nyah Lasem di Jl.Karangturi V No 2 Lasem yang buka setiap hari mulai puiul 08.00 – 20.00 WIB ini.
Bagi yang ingin tahu soal perkembangan batik Lasem, mąką berkunjung ke museum ini menjadi kewajiban sehingga menikmati Tiongkok Kecil menjadi lengkap.
Selepas mengunjungi museum, sekira 1 kilo meter ke Selatan, bisa berkunjung ke sentra penjual Lontong Tuyuhan. Ini merupakan kawasan penjual lontong khas Lasem. Apa itu Lontong Tuyuhan? Ini adalah lontong dengan opor ayam dengan rasa gurih, dan pedas. Nama Tuyuhan diambil dari sebuah desa yang bernama Desa Tuyuhan di wilayah Kecamatan Pancur tak jah dari Lasem.
Menutup sehari di Lasem, waktu sudah pukul 20.15 WIB dań nongkrong Rumah Kopi Oei. Suasana yang nyaman dengan dekorasi rumah Tionghoa ditutup dengan menikmati Kopi Lelet. Kopi Lelet adalah kopi khas Rembang yang berasal dari kebiasaan unik mengoleskan ampas kopi yang sudah diminum sebelumnya ke rokok yang dihisap sehingga rokok terasa awet. Kebiasaan tersebut menular kemudian kawasan warung tersebut dikenal sebagai warung kopi sedulit atau kini dikenal dengan lelet. Di Rumah Oei ini juga disajikan kopi itu. Sambil menunggu tutup, menikmati wedang ronde yang juga tak kalah nikmat. Lengkap sudah sehari di Lasem. Kembali ke Hotel Merah untuk beristirahat untuk melanjutkan perjalanan esok. Sesekali, bolehlah ke Lasem.(phil)