Rencana Memperluas Perkebunan Monokultur Sawit, Perlu Dipertimbangkan

DCIM100MEDIADJI_0157.JPG

Loading

BOGOR, BERITAKOTA.COM – Presiden Prabowo Subianto pada akhir tahun lalu telah mengeluarkan pernyataan yang cukup kontroversial terkait dengan lingkungan khususnya sawit dan deforestasi. “Saya kira ke depan kita juga harus tambah tanam sawit, tidak usah takut katanya membahayakan (karena menyebabkan) deforestasi. Namanya kelapa sawit ya pohon, ya kan? Kelapa sawit itu pohon, ada daunnya kan? Ya dia menyerap karbondioksida, dari mana kok kita dituduh, yang mboten-mboten aja orang-orang itu.”

Dari pernyataan tersebut menurut Sawit Watch, mengisyaratkan dua hal, Pertama, perluasan sawit tanpa takut akan deforestasi. Kedua, bahwa sawit secara harfiah sebagai tanaman juga mampu menyerap karbon sama seperti hutan. Setali tiga uang, setelahnya Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni menyebut ada 20 juta hektar lahan yang dapat digunakan sebagai lahan cadangan untuk memproduksi pangan dan energi. Hal tersebut berujung pada memperlebar peluang ekspansi sawit terjadi dalam beberapa waktu kedepan jika benar hal ini diseriusi. Lalu apakah benar tanaman sawit dapat menyerap karbon? Seberapa besar kemampuannya dalam menyerap karbon? Apakah sebanding mengorbankan Hutan yang kaya akan keanekaragaman hayati untuk dikorbankan menjadi perkebunan sawit yang monokultur?

Karbondioksida merupakan salah satu jenis yang tergolong dalam gas rumah kaca (GRK), yang memiliki kontribusi terbesar terhadap pemanasan global. Karbondioksida merupakan gas yang dilepas ke atmosfer ketika terjadi pembakaran bahan bakar fosil, limbah padat, dan kayu untuk menghangatkan bangunan, menggerakkan kendaraan dan menghasilkan listrik, termasuk deforestasi. Secara alami karbon dapat diserap oleh tanaman. Namun sayangnya kondisi hutan yang biodiversitas keanekaragaman hayati tinggi kini semakin berkurang jumlahnya. Sehingga memperkecil kemampuan alam melakukan penyerapan karbon secara alami. Hal ini diakibatkan perambahan hutan untuk diambil kayunya maupun untuk perluasan lahan bagi industri ekstraktif SDA.

Achmad Surambo, Direktur Eksekutif Sawit Watch mengatakan, “Sawit sebagai tanaman tentu memiliki kemampuan dalam menangkap karbon. Namun apakah tanaman sawit mampu menggantikan peran hutan alam dalam menyerap karbon? Apakah alih fungsi hutan menjadi perkebunan sawit dapat menggantikan peran hutan alam dalam menyerap karbon? Atau justru pembukaan lahan menjadi sawit berkontribusi atas terjadinya emisi karbon?  Dari data yang kami miliki menunjukkan bahwa terjadi ketimpangan antara emisi dengan simpanan karbon, atau telah terjadi tekor artinya yang keluar emisi CO2 dibandingkan yang diserap. Simpanan tersebut tidak sebanding dengan emisi yang dihasilkan dari alihfungsi lahan, terutama pada hutan di tanah mineral dan gambut. Alih fungsi lahan gambut memiliki dampak terburuk, dengan emisi karbon yang sangat tinggi hingga 1.835 ton CO2-eq. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun tanaman sawit memiliki potensi dalam penyerapan karbon, kontribusi ini tidak cukup untuk menutupi emisi yang dihasilkan, khususnya dari alih fungsi lahan,” jelas Surambo

“Lahan gambut menjadi contoh yang paling rentan, konversi tersebut menghasilkan emisi yang tinggi. Untuk mengatasi hal tersebut diperlukan mitigasi yang serius untuk menekan dampak alih fungsi lahan, terutama pada lahan gambut dan hutan di tanah mineral sehingga emisi yang dihasilkan dapat dikontrol untuk menekankan proses-proses pengelolaan secara berkelanjutan. Selain itu, perlu mempertimbangkan kebijakan perkebunan sawit, terutama untuk mencegah kerusakan dan fluktuasi simpanan karbon. Semua data ini kemudian memperjelas posisi dimana sebaiknya tanaman sawit tidak ditanam di lahan gambut untuk mendukung penyelamatan bumi dan memprioritaskan kelestarian lingkungan dengan menghindari penanaman sawit di lahan gambut,” tambahnya.

Rambo menambahkan agar rencana memperluas lahan sawit sepertinya perlu difikirkan lebih matang. “Karena memperluas sawit atau ekstensifikasi hanya akan berdampak pada deforestasi yang lebih besar dan resiko yang lebih tinggi. Bahkan akan berkontribusi pada perubahan iklim dunia,” tandasnya. (phil)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *