JAKARTA, BERITAKOTA.COM – Jelang Pilkada DKI Jakarta 2024-2029, dugaan pencatutan Nomor Induk Kependudukan (NIK) pada KTP kembali mengemuka. Sejumlah KTP milik warga dicatut untuk mendukung calon perseorangan. Padahal mereka tidak memberikan dukungan terhadap calon tersebut.
Ketua Bidang Kepemiluan Majelis Nasional Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) , Ramdasnyah, yang juga pendiri Rumah Demokrasi, mengatakan, dugaan pencatutan NIK untuk mendukung calon perseorangan merupakan persoalan klasik. Pasalnya kasus semacam ini pernah terjadi pada pilkada di Jakarta tahun 2011/2012 silam.
Hal ini pernah dijelaskan oleh Ramdansyah saat menjadi narasumber di acara Gakkumdu di Bandung- Jawa Barat, yang dihadiri Bawaslu, Kasatserse dan Kasie Pidum Kejaksaan se Jawa Barat pada Kamis ( 14/07/2024) silam. Dan pada dialog Interaktif Radio Elshinhta Jumat malam (16/8/2024) kasus ini kembali jadi bahan bahasan.
“Sekarang tahapan verifikasi faktual yang kemudian sudah diputuskan yang lolos, salah satu pasangan calon lolos di Jakarta dan beberapa daerah juga lolos. Ini ada persoalan. Pertama tadi ketika kita menyampaikan ini adalah pidana umum yang tadi disampaikan humas Polda misalkan. Saya melihat ini tahapan sudah masuk pada tahapan pendaftaran calon yang independen. Karena untuk pendaftaran Paslon dari partai politik pada 24 -26 Agustus. Kemudian penetapan pada 29 Agustus. Ketika tahapan berlangsung apakah ini menjadi pidana umum atau pidana Pemilu. Karena Ini bisa terkait dengan pihak-pihak atau KTP seseorang yang pribadi kemudian dipalsukan (untuk mendukung). ini persoalan klasik,” ujar Ramdansyah.
Dijelaskan lebih lanjut bahwa saat dirinya menjadi Ketua Panwaslu DKI Jakarta pada periode 2011-2012 lalu atau 12 tahun lalu, kasus semacam ini terjadi. Bahkan nama dirinya sebagai ketua panwaslu provinsi kala itu dicatut oleh salah satu pasangan calon independen.
“Ini kemudian menjadi pertanyaan besar. Persoalan klasik ini kok muncul terus dan kemudian apakah ini menjadi pidana umum atau pidana pemilu? Jawaban saya pidana pemilu karena terkait dengan tahapan pendaftaran calon independen,” ujar Ramdansyah yang juga dosen di STISIPPB Soppeng ini
Mantan Ketua Panwaslu DKI Jakarta tersebut mengatakan, jika ingin pergi ke Sentra Pelayanan Kepolisian (SPK) untuk melakukan laporan maka harus melapor dulu ke Bawaslu, karena ini masuk ranah Gakumdu.
“Tadi saya dengar, bahwa Bawaslu sudah membuka diri silahkan melapor bagi yang dicatut. Sebaiknya jangan paralel lapor ke Kepolisian dan Bawaslu RI. Karena ada satu kesatuan utuh yang namanya Gakkumdu yang terdiri dari Bawaslu, Kepolisian dan kejaksaan,” terang Ramdansyah
Bahkan jelas Ramdansyah, ketika ia memberikan paparan terkait dengan potensi pelanggaran Pilkada di Jawa Barat di Bandung, hal itu juga ditegaskannya kembali.
Artinya, jangan berjalan masing-masing. “Ini kan Gakkumdu sudah ada, jadi kalau ke Bawaslu, kemudian diberkaskan, nanti Bawaslu ketika melakukan putusan bersama atau putusan kolektif kolegial terkait laporan masyarakat ini bisa kemudian membawa ke ranah pidana pemilu. Sehingga kemudian, Sentra Pelayanan Kepolisian (SPK) laporan polisinya itu mendapatkan rekomendasi dari Bawaslu itu sendiri. Kalau nggak maka menjadi pidana umum,” ujarnya seraya menambahkan kalau masuk pidana umum akan mudah dibantah ketika di pengadilan. Mengingat masalah ini bukan pidana umum tapi pidana pemilu.
“Catatan yang kedua sebenarnya ini kan dari KPU memasang data yang dicatut dalam status laman KPU yang lama dimana pasangan calon independen tersebut tidak memenuhi syarat sebelumnya kan. Sekarang sudah memasuki verifikasi faktual.Tahapan verifikasi administratif itu sudah selesai dan kemudian ada perbaikan ketika diperbaiki misalkan nama data Si A. Pada tahapan verifikasi administrasi pertama itu masih muncul katakanlah di websitenya KPU dan kemudian itu ada perbaikan. Ini Sudah diperbaiki, sehingga kemudian yang tidak memenuhi syarat karena mencatut tadi. Data itu diperbaiki , sudah digantikan oleh yang bersangkutan. Sehingga menjadi MS, Memenuhi Syarat. Sehingga memenuhi kuota 600 ribu an lebih sesuai persyarartan,” ujar Ramdansyah.
Kalau tidak, urai Ramdansyah, maka akan menjadi persoalan yang tidak akan selesai. Karena pemenuhan calon tadi tidak dipenuhi. Tidak lolos.
Oleh karena itu, lanjut dia, bila memang mau menyatakan tidak memenuhi syarat maka langkah yang dilakukan harus ke PTUN.
“Pengadilan Tata Usaha Negara. Balik lagi untuk menggugat keputusan pejabat TUN dalam hal ini KPU,” sambungnya.
Sementara dalam konteks non formal hukum, kata pria sedang menyiapkan desertasinya ini, harus punya pendekatan non hukumnya. Ada apa dengan calon perseorangan yang awalnya sangat berat untuk lolos, kemudian jadi lolos
“Ini harus dilihat dari konteks politiknya. Hari ini kan orang berasumsi ini nanti calon perseorangan atau calon dari parpol yang didaftarkan ke KPU nanti satu pasangan calon. Sehingga akan muncul yang namanya pasangan kotak kosong ini harus kita baca seperti itu. Karena untuk menghindari pasangan kotak kosong itu dicarilah kemudian dari calon perseorangan. Tapi ini kan masih asumsi karena harus dibuktikan poin pertama dan kedua yang tadi saya sampaikan,” Ramdansyah menjelaskan.
Namun jika ingin menggugat putusan pejabat TUN dalam hal ini pejabat KPU maka harus ke Pengadilan Tata Usaha Negara. (Agus)