Garut – Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Garut yang telah membentuk Satuan Tugas (Satgas) Penanggulangan Terorisme. Satgas tersebut tidak hanya dari Pemkab dan Forkopimda Garut, tetapi terdiri dari berbagai stakeholder dari unsur ulama melalui Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Garut dengan berbagai ormas dibawahnya, perguruan tinggi dan berbagai organisasi non pemerintah atau Non-Governmental Organization (NGO) lainnya.
Langkah Pemkab Garut ini mendapat apresiasi tinggi dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Direktur Pencegahan BNPT Brigjen Pol. R. Ahmad Nurwakhid, SE, MM, mengatakan ini adalah langkah fundamental, langkah strategis dan bisa jadi langkah sejarah. Pasalnya baru Kabupaten Garut yang membentuk SatgasPenanggulangan Terorisme tingkat kabupaten/kota.
“Pembentukan Satgas oleh Pemkab Garut mungkin di daerah lain belum pernah ada. Ini menunjukkan bahwa langkah ini memang untuk strategi penanggulangan secara holistik mulai dari hulu. Menangani ideologinya nanti oleh pak Ketua MUI bersama para kyai, para ulama dan lain sebagainya. Kemudian yuridisnya ditangani oleh Kapolres kemudian yang lainnya juga ada Pak Dandim dan lain sebagainya,” ujar Ahmad Nurwakhid.
Apresisasi itu diucapkan Nurwakhid pada acara Silahturahmi Kebangsaan dalam Rangka Mencegah Penyebaran Paham Intoleransi dan Paham Radikalisme di Kabupaten Garut sekaligus pengukuhan Satgas Penanggulangan Terorisme Kabupaten Garut di Islamic Center, Kabupaten Garut, Jumat (29/10/2021).
Keberadaan Satgas Penanggulangan Terorisme di tingkat kabupaten ini, menurut Nurwakhid, sangat tepat. Pasalnya virus ideologi ini bisa menimpa atau memapar siapa saja, baik sipil, pemuda, pelajar, ASN, bahkan tidak menutup kemungkinan TNI dan Polri.
“Jadi siapapun mereka yang terpapar harus menjadi korban. Ini seperti halnya Narkoba. Jadi yang kita kita salahkan itu bandarnya atau orang yang meradikalisasi itu yakni tokoh-tokohnya sehingga itu nanti yang akan dilakukan proses hukum. Untuk menanggulangi harus dilakukan sinergi berbagai pihak,” ujarnya
Ia menjelaskan, dalam menyelesaikan pencegahan paham radikal terorisme oleh Satgas Penanggulangan Terorisme ini ada tiga upaya yang harus dilakukan. Pertama secara ideologis yang ditangani MUI baik pusat maupun daerah.
“Ada fatwa yang mendukung untuk itu, bahwa aliran yang digulirkan atau disebarkan oleh kelompok tersebut sudah benar-benar sesat dan menyesatkan. Nanti akan ada yang mengkaji sendiri,” ujar alumni Akpol tahun 1989 ini.
Kemudian yang kedua dari segi yuridis yang dilakukan oleh jajaran Polres Garut dalam penegakkan hukum. “Tentunya nanti pak Kapolres akan melakukan secara objektif dan proporsional serta profesional. Tetapi hal ini nantimya akan dilakukan secara smooth, supaya tidak gaduh,” ujar Nurwakhid.
Ketiga dengan cara-cara sosiologis yaitu bagaimana bahwa menjadikan radikalisme itu menjadikan common enemy atau musuh bersama dan menjadi tanggung jawab seluruh elemen masyarakat Indonesia.
“BNPT sebagai badan yang bertugas merumuskan kebijakan, kemudian mengimplementasikan dan mengkoordinasikan, maka kami akan mengkoordinasikan dengan segenap Kementerian/Lembaga (K/L) terkait untuk bisa menerbitkan regulasi yang mengakar, yang fundamental yaitu dilarangnya semua ideologi yang bertentangan dengan ideologi negara. Ini agar supaya pembangunan yang ada di negeri ini situasi bisa stabil sehingga kita bisa membangun,” ucapnya.
Selama ini menurutnya, belum ada regulasi atau payung hukum yang terkait larangan terhadap ideologi yang mengatasnamakan agama yang bertentangan dengan Pancasila itu. Karena yang ada baru Undang-Undang Nomor 27 tahun 1999 yang merupakan turunan dari pada undang-undang dari pada TAP MPRS Nomor XXV tahun 1966 yaitu larangan terhadap ideologi Komunisme, Marxisme dan Leninisme.
“Makanya kalau kalau ada orang teriak-teriak khilafah, teriak dirikan syariah, teriak ganti sistem negara, kita enggak bisa berbuat apa-apa. Karena belum ada larangan terhadap ideologi radikal kanan yang mengatasnamakan agama seperti kapitalisme, sekularisme, liberalisme yang bisa memunculkan radikalisme,” jelasnya.
Bila hal ini dibiarkan, tegasnya, pasti berbahaya. Karena kategori indeks potensi radikalisme di seluruh Indonesia berdasarkan hasil survey di tahun 2020, ada sebanyak 12,2% dari seluruh penduduk Indonesia yang 274 juta jiwa. Hal itu terlihat dari tiga indikator. Yang pertama, sudah anti Pancasila, pro Khilafah dan pro separatis. Kedua dia bersikap intoleran dan eksklusif. Kemudian yang ketiga, dia anti budaya dan anti kearifan lokal keagamaan.
“Anti disini bukan berarti tidak. Karena yang namanya tradisi itu adalah ikhtilaf. Anti disini ada sikap membenci dengan menjustifikasi bid’ah, sesat, kafir dan sebagainya. Karena dalam, konteks radikal terorisme yang mengatasnamakan agama, akar masalahnya adalah ideologi takfiri, yang mengkafirkan pihak lain yang berbeda,” ujarnya
Oleh sebab itu menurutnya, dibentuknya Satgas Penanggulangan Terorisme di Kabupaten garut ini adalah langkah strategis untuk mengcover sebelum munculnya regulasi yang melarang semua ideologi yang bertentangan dengan Pancasila. Dirinya berharap daerah lain di Indoenesia harus bisa meniru untuk membentuk Satgas serupa.
“Harus meniru Garut. karena Kenapa ? ini tadi yang 12,2% itu menyebar ke seluruh Indonesia. Jadi Garut itu mungkin karena ada nilai historis, ada nilai sejarah dulu Ciamis, Garut, Tasikmalaya dan lain sebagainya. Jadi sekali lagi ini bukan salah siapa-siapa, tetapi ini tanggung jawab kita semuanya,” pungkas mantan Kadensus 88/Anti Teror Polda DIY ini. (BK/Man)