JAKARTA, BERITAKOTA.COM – “Temu Rakyat untuk Keadilan Iklim atau ICJS ini adalah forum politik rakyat, terutama mereka masyarakat rentan, untuk dapat mengekspresikan, menyuarakan dan menggagas solusi yang ditawarkan kepada negara untuk memastikan terwujudnya keadilan iklim” ujar Dewy, Ketua Panitia Pelaksana ICJS 2025, Selasa (5/8) di Jakarta lewat rilisnya.
Acara yang digagas oleh Aliansi Rakyat untuk Keadilan Iklim (ARUKI) juga mengundang media yang adalah bagian penting dari Indonesia Climate Justice Summit (ICJS) 2025, sebuah forum politik rakyat berskala nasional yang akan digelar pada 26–28 Agustus 2025 di Jakarta. Dengan mengambil tema “Gerakan Rakyat, Solusi Rakyat: Mengukuhkan Keadilan Iklim dari Lokal ke Global,” ICJS bertujuan sebagai ruang bersama untuk merumuskan tuntutan rakyat atas keadilan iklim dan mendorong keterlibatan bermakna masyarakat dalam pembentukan RUU Keadilan Iklim serta agenda Konferensi Iklim COP 30 di Brasil.
ARUKI menyadari pentingnya kolaborasi lintas sektor, termasuk peran media, dalam memperluas jangkauan suara rakyat mengenai keadilan iklim. Oleh karena itu, ARUKI menggelar pertemuan media di Kantor Eksekutif Nasional WALHI pada Selasa (5/8) untuk membuka ruang berbagi informasi, memperkuat jejaring, serta mengajak media terlibat aktif dalam memperluas narasi keadilan iklim dari perspektif masyarakat sipil..
Dalam catatan ARUKI, lebih dari 28.000 bencana iklim terjadi dalam satu dekade terakhir, menyebabkan lebih dari 38 juta warga terdampak, serta menimbulkan kerugian ekonomi hingga Rp544 triliun antara 2020–2024. Dampak tersebut paling dirasakan oleh komunitas yang selama ini justru paling jarang dilibatkan dalam pengambilan keputusan.
Urgensi Pembahasan RUU Keadilan Iklim
Zainal Arifin dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), yang juga merupakan anggota Komite Pengarah Climate Justice Summit, menyoroti lemahnya kerangka hukum yang ada dalam merespons krisis iklim. Menurutnya, undang-undang lingkungan hidup saat ini masih berfokus pada aspek teknis seperti Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), tanpa menyentuh akar persoalan yang lebih mendasar seperti ketimpangan struktural, relasi kuasa, dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat terdampak. Padahal, kompleksitas krisis iklim menuntut pendekatan hukum yang lebih komprehensif, adil, dan berpihak pada rakyat.
“Misalnya, pembabatan hutan di Kalimantan untuk kepentingan industri tidak hanya merusak ekosistem lokal, tetapi juga mengubah arus laut yang menyebabkan desa-desa pesisir di wilayah lain ikut tenggelam. Ini adalah contoh nyata dampak lintas wilayah yang tak bisa diselesaikan dengan pendekatan teknokratik semata. Kita butuh kerangka hukum yang adil dan berpihak pada rakyat,” tambah Zainal.
Untuk itu, ICJS juga mendorong pembahasan RUU Keadilan Iklim sebagai kerangka hukum nasional yang menjadi pedoman bagi pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan dalam merespons krisis iklim secara adil, inklusif, dan berorientasi pada hak rakyat. RUU ini bertujuan untuk mengintegrasikan prinsip-prinsip keadilan iklim ke dalam seluruh kebijakan dan regulasi iklim di Indonesia.
“RUU Keadilan Iklim harus menjadi fondasi hukum yang menjamin bahwa setiap kebijakan iklim selaras dengan target global membatasi kenaikan suhu di bawah 1,5°C dan berpihak pada keadilan. Mitigasi dan adaptasi iklim harus dilakukan secara adil, tanpa membebani kelompok rentan atau mengorbankan hak masyarakat lokal. RUU ini juga harus mengakui kerugian akibat krisis iklim dan memastikan ada mekanisme pemulihan yang layak. Pendanaan iklim harus transparan dan berpihak pada komunitas terdampak, dengan tata kelola dan penegakan hukum yang kuat. Di atas segalanya, partisipasi publik yang bermakna dari masyarakat, terutama yang paling terdampak, harus dijamin dari awal hingga akhir proses kebijakan.” jelas Difa Safira dari Indonesia Center for Environmental Law (ICEL)
“RUU Keadilan Iklim harus menjadi instrumen yang menegaskan kembali kedaulatan rakyat, menolak ekonomi ekstraktif, dan membela kehidupan. Tanpa perubahan sistemik, target penurunan emisi 2030 hanyalah formalitas. Regulasi yang berpihak pada rakyat adalah langkah pertama yang harus kita perjuangkan,” tambah Risma Umar dari AKSI.
Pentingnya Keterlibatan Kelompok Rentan dalam Perwujudan Keadilan Iklim
Keterlibatan masyarakat rentan menjadi inti dari pelaksanaan Indonesia Climate Justice Summit (ICJS) 2025. Forum ini secara khusus membuka ruang partisipasi bermakna bagi kelompok-kelompok yang selama ini paling terdampak namun paling terpinggirkan dalam kebijakan iklim, seperti penyandang disabilitas dan masyarakat pesisir.
“Kami, penyandang disabilitas, sering kali tidak dianggap sebagai bagian dari pembicaraan iklim, padahal kami menghadapi risiko yang jauh lebih besar saat iklim terjadi, musalnya ketika terjadi bencana. Harapannya, ICJS ini meng-highlight pengalaman-pengalaman disabilitas yang selama ini jarang diperbincangkan.” ujar Yeni Rosa Damayanti dari Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS)
“Kami hidup berdampingan dengan laut, tapi sekarang laut kian mendekat dan merampas ruang hidup kami. Krisis iklim bukan sekadar isu global bagi kami, ini kenyataan kami sehari-hari. Jadi perlu ada ruang yang dapat mengakomodasi kondisi kami dan mendoorng solusi yang nyata,” tambah Erwin Suryana dari Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA).
ICJS akan dihadiri oleh 500–1000 peserta dari berbagai komunitas, termasuk masyarakat adat, perempuan, penyandang disabilitas, petani, nelayan, buruh, masyarakat miskin kota, dan orang muda, serta diisi dengan pleno, lokakarya tematik, panggung ekspresi rakyat, hingga aksi bersama.(phil)