JAKARTA, BERITAKOTA.COM – sepanjang tahun 2023, ada 5.079 laporan korupsi kepada Komisi Penberantasan Korupsi (KPK). Akan tetapi yang baru ditindaklanjuti oleh KPK hanya sebanyak 690 kasus. Banyaknya laporan kepada KPK ini menyiratkan kegelisahan publik. Namun, sayangnya, publik tak mendapat kepastian bagaimana tindak lanjut laporan mereka terhadap lembaga anti rasuah itu.
Hal itu diungkapkan, peneliti dari Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Badiul Hadi, dalam diskusi PARA Syndicate bertajuk “Kala KPK di Bawah Kendali Politik”, di Kantor PARA Syndicate, Jakarta, Jumat (14/6/2024).
Diskusi menghadirkan Ari Nurcahyo (PARA Syndicate), Ray Rangkuti (Lingkar Madani), Lucius Karus (FORMAPPI), dan moderator Lutfia Harizuandini.
Lebih lanjut, menurut Badiul, anggaran yang bisa dikembalikan ke negara atau recovery asset dari penanganan kasus korupsi di KPK pada periode 2023 hanya sebesar Rp 525,4 M saja. Padahal ada
banyak kasus korupsi yang nilai korupsinya melampaui itu.
Hal seperti ini, lanjut menunjukkan memang sedang ada masalah internal di KPK. Lebih lanjut, Badiul menekankan soal pentingnya masyarakat mengawal dan mendorong supaya proses seleksi pimpinan KPK yang tengah berlangsung bisa
menghasilkan pimpinan yang lebih baik, betul-betul memberantas korupsi.
“Harapannya, publik yang saat ini kecewa terhadap KPK, kembali percaya kepada lembaga tersebut. Selain itu, masyarakat sipil juga harus mengawal rencana revisi UU KPK,” katanya.
Sementara itu, peneliti FORMAPPI Lucius Karus kembali menyinggung soal pelemahan KPK. Ia menjelaskan pelemahan KPK dilakukan oleh kekuasaan melalui cara yang konstitusional di DPR, sebagaimana pelemahan lembaga lain yang lahir dari semangat Reformasi.
“DPR saat ini menjadi kaki tangan politik kekuasaan,” imbuhnya.
Lucius tak memungkiri bahwa UU KPK perlu direvisi demi memperkuat lembaga anti korupsi tersebut. Meski demikian, Lucius mengingatkan, masa sidang DPR periode 2019-2024 tersisa satu kali lagi masa sidang, yaitu pada 16 Agustus mendatang.
Dengan masa sidang yang sempit ini, lanjut Lucius, tak ada ruang bagi publik untuk terlibat dalam proses legislasi. Selain itu, proses revisi UU memakan waktu lama lantaran membutuhkan kajian mendalam. Maka dari itu, mengingat UU KPK tak masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas).
Lucius mendorong UU KPK direvisi DPR periode selanjutnya. Sebab saat ini KPK ada di bawah kekuasaan eksekutif, sehingga mustahil untuk bekerja sebagai yudikatif.
‘Hal inilah, yang menjadi salah satu permasalahan di KPK dan menyebabkannya KPK rentan digunakan untuk kepentingan politik. Maka itu, selamatkan KPK dari kendali politik,”tandasnya. (Ralian)