JAKARTA, BERITA-KOTA.COM — Bahwa telah terjadi pemutusan sepihak terhadap karyawan kontrak (PKWT) yang dilakukan oleh PT Shelter Indonesia Group (selanjutnya disebut sebagai “PERUSAHAAN”). Adapun kronologi pemecatannya sebagai berikut:
PT Shelter Indonesia Group merupakan Perusahaan asing yang memiliki berbagai macam sub usaha, salah satunya restaurant yang bernama “Shelter Restaurant” yang berada di daerah Pererenan, Bali.
Pada hari Jumat, 19 April 2024, Klien dipanggil oleh Head Marketing Perusahaan (a.n. Sian – Head Marketing) untuk mengkritik kinerja Klien yang dianggap menurun. Diskusi tersebut berubah menjadi perdebatan, yang kemudian dimediasi oleh HR Manager. Setelah perdebatan selama 10 menit, Klien diminta melanjutkan pekerjaan dan diskusi dijadwalkan ulang ke hari Senin, 22 April 2024.
Sekitar 15 menit kemudian, Klien kembali dipanggil oleh HR Manager dan Head Marketing dan diberhentikan dari pekerjaan tanpa melalui Surat Peringatan (SP1 atau SP2) dan tanpa bukti konkrit dan jelas bahwa PHK ini didasari oleh subjektifitas Sian sebagai Head Marketing.
Senin, 22 April 2024, saya berhenti bekerja tanpa surat resmi pemutusan hubungan kerja, tetapi tetap absen online dari tempat tinggal Klien. Secara hukum bahwa PHK harus diberikan secara tertulis, apabila hanya melalui lisan, maka PHK tersebut tidak berlaku dan status pekerja adalah masih pekerja aktif. Namun, pada faktanya yang terjadi, semua akses Klien ditutup hingga Klien tidak dapat melakukan pekerjaan sebagaimana mestinya. Hanya absensi yang dapat dilakukan oleh Klien.
Perjanjian untuk diskusi mengenai PHK dijadwalkan dengan pengacara (Muhammad Rafi Irwanzah, S.H., M.Krim.) dan perusahaan pada Kamis, 25 April 2024, namun diubah menjadi Jumat, 26 April 2024. Meskipun jadwal diubah, Klien dan Pengacaranya tetap datang pada Kamis, 25 April 2024, tetapi tidak berhasil bertemu penanggung jawab setelah menunggu 3 jam di restaurant Shelter Pererenan, Bali. Bahkan Klien dan Pengacara diusir oleh pihak Perusahaan melalui Tim Security.
Terhadap hal tersebut, pertemuan dilakukan pada hari Jumat, 26 April 2024. Pada pertemuan berlangsung, Klien diberikan “Surat Peringatan Terakhir dan Pemberhentian Karyawan” dengan dilampirkan tuduhan-tuduhan yang direkayasa oleh pihak Perusahaan.
Terhadap PHK yang dilakukan oleh PT Shelter Indonesia Group, Klien meminta hak-haknya atas PHK tersebut, namun permintaan Klien ditolak oleh Perusahaan. Perusahaan berpegang teguh terhadap Perjanjian Kerja (PKWT) yang telah dibuat dan ditandatangani bahwa “Perseroan dapat secepatnya mengakhiri Perjanjian ini dan membebastugaskan Karyawan karena alasan (sebagaimana didefinisikan di bawah) kapan saja, tanpa pemberitahuan terlebih dahulu.”. Hal tersebut secara terang dan jelasn melanggar Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003. Dalam UU tersebut, diatur bahwa Perusahaan /Pengusaha dilarang melakukan PHK terhadap Pekerja dengan alasan:
1. Pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus-menerus;
2. Pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
3. Pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
4. Pekerja/buruh menikah;
5. Pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya;
6. Pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
7. Pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
8. Pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan;
9. Karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan
10. Pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya yang belum dapat dipastikan.
Terlebih lagi Pekerja tidak diberikan kebebasan waktu untuk menjalankan ibadah sebagai seorang Muslim dan alasan-alasan yang dikemukakan oleh Perusahaan pun sangat dibuat-buat.
Adapun yang diberikan adalah Perusahaan adalah gaji terakhir itupun dengan ancaman kalau Klien tidak memberikan data-data pekerjaannya kepada Perusahaan.
Segala sistem Media Sosial yang ada di Perusahaan tersebut, Klien lah yang membuatnya, setelah sistem itu ada, Perusahaan dibuang begitu saja.
Adapun pada saat pertemuan tersebut, Klien dan Pengacara (Muhammad Rafi Irwanzah, S.H., M.Krim) menuntut hak Klien salah satunya adalah ganti rugi sebagaimana yang dijelaskan pada Pasal 62 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, yang berbunyi:
“Apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian kerja waktu tertentu, atau berakhirnya hubungan kerja bukan karena ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1), pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.”
Perusahaan menolak dan tidak mau membayarkan ganti rugi tersebut. Terhadap hal tersebut sebagai mana yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Hubungan Industrial, Klien yang didampingi oleh Pengacara (Muhammad Rafi Irwanzah, S.H., M.Krim) mengajukan perundingan bipartit ke Perusahaan, namun yang ada Klien dan Pengacara (Muhammad Rafi Irwanzah, S.H., M.Krim.) diusir oleh Dan dan Steven (Tim Manajerial Perusahaan). Hal tersebut mengartikan Perusahaan tidak memiliki itikad baik kepada Klien sebagai Pekerja yang telah memberikan kontribusi kepada Perusahaan.
Perundingan Bipartit gagal karena Perusahaan tidak mau menemui Klien. Terhadap hal tersebut, Klien melaporkan Perusahaan ke Kepala Dinas Perindustrian dan Tenaga Kerja Kabupaten Badung, Bali pada tanggal 30 April 2024.
Setelah pelaporan tersebut, pihak Dinas Perindustrian dan Tenaga Kerja Kabupaten Badung, Bali memanggil Pengusaha dan Pekerja pada tanggal 30 Mei 2024. Pihak Perusahaan dihadiri oleh Eka Yulianti (HR Manager) yang tidak memiliki kapasitas untuk memberikan keputusan terhadap perselisihan hubungan industrial ini, tanpa adanya Surat Kuasa dari Direktur. Ditambah, HR Manager membawa bukti-bukti yang mana merupakan chat antara para atas manajerial yang isinya tidak ditunjukkan pada saat tripartit tersebut. Menuduh pekerja serta mengada-adakan bukti. Setelah pertemuan pertama di Dinas Perindustrian dan Tenaga Kerja Kabupaten Badung, Bali, Perusahaan diberikan 10 hari kerja untuk memberikan keputusan terhadap permintaan Klien.
Namun per hari Rabu, 05 Juni 2024 Perusahaan memberikan keputusan secara tertulis bahwa tidak akan membayar ganti rugi kepada Klien yang tidak disertai alasan. Apapun alasan Perusahaan, ganti rugi tersebut merupakan kewajiban Perusahaan kepada Klien dan Perusahaan telah mencoreng nilai-nilai kemanusiaan, ditambah lagi Perusahaan asing harus memahami mekanisme dan skema ketenagakerjaan di Indonesia.
Upaya hukum akan terus dilanjutkan oleh Klien didampingi oleh pengacara (Muhammad Rafi Irwanzah, S.H., M.Krim.) sampai hak-hak Klien dipenuhi oleh Perusahaan.
Catatan terpenting terhadap Perusahaan terkhusus PT Shelter Indonesia Grup merupakan Perusahaan Asing yang seharusnya memiliki standart pengetahuan dan yang tinggi khususnya di dalam bidang Ketenagakerjaan. *