JAKARTA, BERITAKOTA.COM – Pemilu 2024 dinilai adalah pemilu terburuk sepanjang reformasi. Ukuran moral dijadikan hanyalah aksesoris, bukan dibutuhkan dalam prinsip-prinsip.
Direktur Eksekutif Direktur Lingkar Madani (Lima) Ray Rangkuti mengatakan, jika melihat indikator moral maka kecurangan pemilu tidak boleh dimaafkan. Hal itu dilihat, kriteria pertama hancurnya moral dimulai dari Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 90/PUU-XXI/2023.
“Putusan MKMK (Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi-red) amar putusan Ketua MK Anwar Usman dipecat dari jabatan Ketua MK tidak membuat putusan itu menjadi rujukan moral bagi Gibran Rakabuming Raka untuk mundur,”kata Ray dalam diskusi yang digelar Gerakan Untuk Indonesia yang Adil dan Demokratis (GIAD) bertajuk “Pemilu Buruk dan Abai Mora: Hanya Di Era Jokowi,”di Sekretariat PARA Syndicate, Jakarta, Selasa (20/2/2024).
Menurut Ray, Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 meski cacat tetap dimanfaatkan oleh keluarga Joko Widodo memajukan anaknya yang baru menjabat 2 tahun Wali Kota Solo.
“Padahal salah satu agenda reformasi adalah menolak praktek nepotisme, seperti yang dikemukakan dalam Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 Tahun 1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme,”ujar Ray.
Ray menegaskan, dinasti politik tidak boleh dalam praktek berbangsa dan bernegara. Selain itu, lanjut Ray, kuatnya dugaan pelibatan presiden memanfaatkan institusi-institusi yang terlibat dalam praktek Paslon tertentu.
“Apakah itu aparat keamanan polisi, alat pertahanan TNI, ASN, Kepala desa, dan ada penyanderaan oknum tertentu, yang diduga bermasalah untuk kepentingan elektoral. Ini kategori amoral,”katanya.
Lebih lanjut, Ray mengatakan, masalah korupsi harusnya digunakan untuk kepentingan clean government, bukan kepentingan politik. “Politiknya selesai, tapi kasus tidak selesai. Kasus BTS (Base Transceiver Station-red) dikatakan dimotarium atau ditunda dahulu karena adanya pelaksanaan Pemilu Presiden (Pilpres). Nah Pilpres ini selesai tinggal penetapan hasilnya belum selesai. Moratorium itu muncul persoalan hukum guna kepentingan tertentu,”tambahnya.
Ray mengemukakan, Komisi Penyelenggara Umum (KPU) dalam perjalanannya sebagai penyelenggara pemilu berujung sanksi berat yang diputuskan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).”Bukan soal sanksi terkait Gibran saja, tapi salah satu peserta Pemilu terjadi hubungan emosional yang mengakibatkan Ketua KPU juga kena sanksi berat sekali,”tandas Ray.
Ray membayangkan, bahwa Pemilu keenam bukan lebih baik, sebaliknya malah lebih buruk. Dia tidak membayangkan bahwa Pemilu 1999 adalah Pemilu yang yeng terburuk yang terjadi setelah era reformasi Pemilu 1999.
Dia menegaskan, agar Bawaslu sebagai pengawas Pemilu harus direvisi secara struktural. “Bahkan Anfrel (Asian Network for Free Election-red) menyebut Pemilu Indonesia yang tidak berintegriras. Tidak pernah sejarah lembaga Pemilu asing yang menyebut lembaga pemilu kita tidak berintegritas,”tandas Ray.
sebelumnya, Lembaga pemantau asing, Asian Network for Free Elections (Anfrel), menyoroti berbagai masalah penyelenggaraan Pemilu 2024 di Indonesia yang ditemukan, di antaranya terkait integritas dan implementasi di lapangan.
Direktur Eksekutif Anfrel, Rohana Hettiarachchi menyatakan penyelenggara pemilu tak mampu mengambil langkah segera untuk menangani keluhan terkait pemilu.
Sejumlah masalah yang berdampak pada integritas Pemilu 2024, antara lain soal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai syarat usia calon presiden-calon wakil presiden.
Selain itu, penggunaan sumber daya negara yang berdampak terhadap kandidat tertentu dalam pemilu.
“Integritas dan netralitas KPU adalah kunci utama pemilu. Bukan berarti hanya dengan KPU berbicara bahwa mereka netral atau independen, tetapi itu juga harus dirasakan oleh publik,” kata Rohana dalam diskusi yang digelar di Jakarta, Minggu (18/2/2024).
Rohana pun memberikan beberapa saran bagi pihak penyelenggara untuk memperkuat dua kunci utama tersebut.
Menurutnya, hal pertama yang harus dilakukan adalah independensi penyelenggara pemilu.
“Anggota badan penyelenggara pemilu tidak boleh berasal dari partai politik. Seharusnya murni dari seleksi yang dilakukan oleh lembaga independen, seperti lembaga konstitusi atau semacamnya,” ujarnya.
Saran selanjutnya adalah harus adanya anggaran pemilu yang terpisah dan tidak boleh berasal dari kementerian atau departemen pemerintah manapun.
“Independensi finansial juga penting karena jika tidak memiliki sumber daya yang cukup untuk membangun sistem yang tepat, maka harus bergantung pada pemerintah atau siapa pun yang memimpin. Jadi, soal ketergantungan finansial juga cukup penting,” tutur Rohana. (Ralian)