JAKARTA, BERITAKOTA.COM – Praktisi Hukum Maqdir Ismail mengakui, bobroknya managemen hukum Indonesia semakin tahun bukan semakin baik, akan tetapi semakin jauh dari harapan dalam penegakan hukum yang dicita-citakan.
Sehingga tidak heran di dalam penjara terjadi jumlah yang membludak di dalam penjara, dan jika tidak dibenahi akan menjadi masalah tersendiri bagi warga binaan.
Maqdir menceritakan, penjara yang dialami Bapak Pendiri bangsa, dan Perdana Menteri Pertama Sutan Syahrir yang di penjara di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) di masa Pemerintahan Belanda masih lebih humanis, ketimbang penjara era Pemerintah Indonesia sejak kemerdekaan hingga kini masih jauh dari harapan.
“Sutan Syahrir diceritakan bahwa penjara yang dialami di dalam Lapas, hanya dirinya di balik jeruji besi, tapi adan taman di depan panjara. Bayangkan dengan Lapas kita, jauh dari harapan yang diinginkan masyarakat,”tukas Maqdir, diskusi dan bedah buku PARA Syndicate bertajuk”Cipinang Undercover “Conspiracy” di Sel lapas”, Jakarta, Jumat (24/11/2023).
Buku tersebut ditulis Indra Adil, penulis buku dan aktivis 77/78. Tulisan buku itu berawal dari pengalaman dirinya masuk penjara akibat hutang piutang yang mengakibatkan dirinya harus terjerat dalam hukuman hingga memasukan dirinya ke hotel prodeo Lapas Cipinang.
Maqdir yang juga mantan aktivid Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (LBHI) mengemukakan, perlunya dibenahi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang lebih mengedepankan pemenjaraan. Padahal, di negara Belanda asal hukum Indonesia diterapkan tidak lagi mengutamakan pemenjaraan, akan tetapi lebih dikedepankan ganti rugi.
Menurut Maqdir, jika masih mengedepankan pemenjaraan maka penjara akan penuh. “Dan itu bukan solusi dalam penegakan hukum,”tambah Maqdir.
Dia mengatakan, jika membesuk tahanan di Lapas memang masyarakat tidak dikenakan bayaran. Namun, lanjut Maqdir, napi yang dibesuk akan bayar ke pegawai Lapas.
“Makanya mereka berteriak, jangan datang besuk saya deh. Karena setiap besuk, maka saya harus bayar,”ucap Maqdir menirukan perkataan napi yang dibesuknya.
Dia mengatakan, restoratif justice yang didengungkan pemerintah hanya sekedar teori, dan tidak diterapkan sepenuhnya. “Di Belanda, setiap orang ditetapkan terdakwa, tidak serta merta jaksa menahan. Dibairkan menunggu antrian, jika vonis hukuman bisa memilih apa dalam bentuk pemenjaraan atau ganti rugi,”tambah Maqdir.
Menurut Maqdir, Kitab Acara Pidana Indonesia harus diperbaiki, tidak lagi mengenakan hukuman penjara terhadap terdakwa. Diakui, jual beli hukuman luar biasa terjadi dalam sistem peradilan Indonesia dan tidak menjadi solusi penegakan hukuman.
“Di Belanda tahun 1983 sudah menerapkan hukumnya bukan lagi pemenjaraan. Sebaliknya mengedepankan ganti rugi terhadap korban yang telah divonis bersalah,”tukasnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif PARA Syndicate Ari Nurcahyo mengatakan, dalam realitas politik banyak tidak kelihatan dan selalu under cover, seperti halnya dijadikannya tersangka Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward OS Hiariej, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri ditetapkan tersangka gratifikasi, dan Anwar Usman, yang dipecat dari jabatannya sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi karena pelanggaran berat atas amar Putusan MK No: 90/PUU-XXI/2023, yang membolehkan usia 40 tahun atau sedang memimpin Kepala daerah.
“Adanya penegakan mengalami kewibawaannya. Calon Wakil Presiden Mahfid MD mengatakan, bahwa hukum bisa ditunggang atau diputar balikan. Inilah masalah kewibawaan hukum yang belakangan terjadi,”tukas Ari Nurcahyo. (Ralian)