Utama  

Seminar GMKI Jakarta, Praktisi Hukum: Oligarki Berpotensi Terjadinya Pelanggaran HAM

JAKARTA, BERITAKOTA.COM – Hak Asasi Manusia (HAM) lahir sebagai antitesa oligarki kekuasaan yang sangat kuat, dimana terjadinya pengingkaran hak warga negara terabaikan. Karenanya, sebanyak 48 Negara Anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) membuat Pernyataan Umum HAM (Declaration Of Human Rights) untuk membatasi negara tidak sewenang-wenang kepada rakyat di negara masing-masing.

Praktisi Hukum Sandi E. Situngkir, SH, MH, mengemukakn, Indonesia sudah melakukan ratifikasi terhadap Konvensi Sipil Politik, Konvensi Ekonomi, Sosial, Budaya PBB menjadi aturan hukum.

“Demikian juga halnya dengan Konvensi Anti Penyiksaan dan Konvensi Perlindungan anak dan perempuan PBB menjadi UU. Ada 30 jenis hak asasi rakyat, semuanya wajib dipenuhi oleh negara,” kata Sandi, dalam seminar Pendidikan HAM, yang digelar Badan Pengurus Cabang Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (BPC GMKI) Cabang Jakarta, di Aula Fisipol Universitas Kristen Indonesia (UKI) Cawang, Jakarta Timur, Jumat (17/11/2023).

Lebih lanjut Sandi mengatakan, kekuasaan Negara yang sangat kuat berpotensi terjadinya pelanggaran HAM, ketika masyarakat sipil dan media massa tidak melakukan fungsi pengawasan.

“Subjek hukum Pelanggaran HAM adalah negara, sehingga aparatur negara tidak memiliki HAM, karena aparatur itu menjalankan kekuasaan negara,”tukas Sandi.

Menurut dia, pelanggaran HAM dapat terjadi melalui pembiaran (crime by ommission), pelaku langsung (crime by commission) dan pelanggaran HAM melalui regulasi perundang-undangan (crime by yudicial).

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Kerjasama HAM, Direktorat jenderal HAM Kemenkumham, Dr. Harniati Sikumbang, SH, LLM menuturkan, tugas dan fungsi Direktorat jenderal HAM Kemenkumham RI, sebagai regulator penyebarluasan nilai-nilai HAM kepada seluruh masyarakat Indonesia, termasuk kepada Aparatur Sipil Negara (ASN) dan Pejabat Negara.

Selain itu, lanjut Harniati, juga melakukan identifikasi pelanggaran HAM dibidang sipil politik maupun ekonomi, sosial, dan budaya.

“Meskipun tidak memiliki fungsi penyelidikan, akan tetapi Direktorat jenderal HAM melakukan fungsi pemantauan terpenuhinya HAM sampai ke pelosok Indonesia,”ucap Harniati.

Menurut Harnaiti, kendala yang dihadapi adalah pemahaman pejabat pemerintah tentang HAM dan kurangnya anggaran kementerian untuk alokasi terpenuhinya HAM.

Dekan Fisip UKI, Dr. Verdinand Robertua, S. Sos mengatakan, Putusan MK dari pemahaman dirinya adalah pelanggaran HAM. Pasalnya, karena putusan itu dibawah bayang-bayang Oligarki kekuasaan Jokowi.

Selain itu putusan itu juga menggunakan intrumen badan peradilan untuk memperkuat kekuasaan Jokowi. Sehingga putusan itu sepatutnya harus dilawan oleh para kaum muda. Semuanya butuh proses dan Gibran Rakabuming Raka, yang juga putra sulung Presiden Jokowi seharusnya tidak menggunakan putusan beraroma pelanggaran HAM. (Ralian)

 379 total views

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *