Santri Milenial Penting Terus Lakukan Jihad Literasi Lawan Intoleransi dan Ekstremisme

Loading

Semarang, BK – Santri masa kini dihadapkan pada beragam tantangan kebangsaan dan keagamaan, berupa maraknya intoleransi beragama, bahkan ekstremisme yang menjurus pada kekerasan dan teror. Semua itu bermula dari mandegnya pemikiran keislaman sehingga umat Islam mudah didoktrin oleh ideologi kebencian yang menebar perpecahan. Jihad literasi perlu dilakukan para santri milenial untuk melawan penyebaran paham intoleran dan ekstremisme.

Ketua Kajian Aswaja Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Tengah (LBM PWNU Jateng), H. M. Ulil Albab Djalaluddin menekankan pentingnya menonjolkan semangat menuntut ilmu dan moderasi beragama bagi para santri dalam rangka peringatan Hari Santri Nasional (HSN) guna menghadapi tantangan kekinian terkait intoleransi dan ideologi radikal ekstremisme.

“Semangat yang harus ditonjolkan pada momentum peringatan HSN kita harus selalu belajar dan belajar, harus selalu meningkatkan literasi referensi. Artinya ketika kita ingin menjadi santri yang moderat, maju, kita harus menggali, mempelajari kutubus salaf yaitu kitab-kitab warisan ulama salaf,” ujar Ulil Albab di Semarang, Rabu (19/10/2022).

Menurutnya, Hari Santri yang akan jatuh pada 22 Oktober, sangat identik dengan peristiwa Resolusi Jihad yang difatwakan oleh Hadaratus Syeck KH. Hasyim Asy’ari yang menandai pentingnya peran santri, pesantren dan umat Islam berjihad khususnya dalam konteks kekinian.

“Jihad tentunya sesuai dengan profesinya. Jadi mujahid fisabilillah bukan di era sekarang dengan mengangkat pedang, yang dikit-dikit teriak takbir itu bukan, bukan seperti itu. Artinya jihad di era milenial di zaman ini ya sesuai dengan profesi,”jelas pria yang akrab disapa Gus Ulil tersebut.

Sebagaimana yang ditegaskan dalam kitab suci, kewajiban jihad sejatinya hanya sebagai perantara. Karena tujuan jihad itu adalah memberi pencerahan kepada umat. Ketika memberi pencerahan kepada umat itu tanpa dengan angkat senjata itu lebih baik daripada memberi pencerahan dengan angkat senjata.

“Khususnya jihad oleh santri, karena sudah banyak ideologi-ideologi yang menyimpang yang mau merongrong NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) dengan membangun argumentasi keagamaan untuk melawan kelompok yang merongrong aqidah Alussunnah Wal Jamaah. Kita harus tampil melawan dengan referensi,” ungkapnya.

Ia menyinggung munculnya riak-riak propaganda politik identitas menjelang tahun politik mendatang. Dirinya mewanti-wanti kepada segenap santri untuk bertawasut (bersikap tengah, tidak fundamentalis atau terlalu liberalis) serta menguatkan pemahaman terkait siasah atau politik agar menjadi santri yang cerdas, relijius dan nasionalis.

“Sejatinya siasah atau politik adalah mengupayakan bagaimana masyarakat itu selamat dunia dan akhirat. Politik identitas harus kita hindari. Makanya, kita harus jadi pemilih yang cerdas. Jangan memilih pemimpin yang memiliki indikator akan memecah belah masyarakat Indonesia, terlebih memainkan politik identitas,” kata Gus Ulil.

Untuk itu Gus Ulili menekankan, para santri dan segenap masyarakat harus cerdas, mencari pemimpin yang adil, nasionalis, berwawasan kebangsaan yang luas, serta relijius. BK/Man

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *