Jakarta, BK – Kelompok radikal, masih begitu gencar membawa semacam doktrin Al Wala’ Wal Bara’ sebagai legitimasi pembenar ajaran (eksklusifisme). Bahwa umat Islam hanya boleh loyal atau bersaudara sesama umat Islam Al Wala’ (loyalitas) sesama umat Islam. Sedangkan terhadap mereka yang non-muslim, itu harus bersikap Wal Bara’ (melepas diri) atau bermusuhan.
Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Darud Da’wah Wal Irsyad (PB DDI) KH. Muhammad Suaib Tahir, Lc, MA, PhD, memandang miris penyempitan makna yang dilakukan oleh kelompok radikal terkait ungkapan Al Wala’ Wal Bara’ tersebut. Padahal sejatinya ungkapan tersebut memiliki makna yang mulia untuk tuntunan umat agar loyal memperjuangkan kebaikan bersama, terlepas dari perbedaan suku, ras, dan agama.
“Nah kesalahan sebagian orang adalah karena makna ini diartikan secara terbatas. Kenapa? Karena sesungguhnya kita juga memang harus loyal kepada agama kita, tetapi dalam arti bukan berarti bahwa kita harus memusuhi yang lain,” ujar Kiai Suaib di Jakarta, Kamis (15/9/2022).
Dirinya melanjutkan, Al Wala’ dan Wal Bara’ sendiri berasal dari bahasa Arab. Al Wala’ artinya loyalitas, sedangkan Wal Bara’ memiliki makna melepaskan diri. Artinya, sebagai muslim harus loyal kepada umat Islam dan tidak boleh loyal kepada mereka yang bukan muslim.
“Istilah ini begitu populer ketika keruntuhan kekhilafan Islam atau pada pasca penyerangan Mongolia ke negara-negara Islam di Timur Tengah pada saat itu, Kemudian kemunculan penguasa baru pada saat itu, menimbulkan pertanyaan di masyarakat apakah mereka (penguasa) merepresentasikan Islam, dan apakah harus loyal kepada pemerintah,” jelasnya.
Dosen Pasca Sarjana di Perguruan Tinggi Ilmu Al-Quran (PTIQ) Jakarta ini, mengatakan bahwa justru dewasa ini ungkapan tersebut menjadi doktrin negatif yang mendominasi banyak kelompok radikal.
“Mereka memandang Al Wala’ Wal Bara’ itu hanya semata-mata untuk orangnya saja, untuk orang muslim saja. Kalau yang bukan muslim itu tidak bisa loyal bahkan mengganggu dan mengancam orang lain karena menganggap Itu bukan bagian dari mereka, itu adalah suatu kekeliruan tentang memaknai Al Wala’ Wal Bara’,” tuturnya.
Padahal didalam ajaran Islam sendiri, tidak ada batasan dalam pergaulan. Karena sejatinya manusia memiliki hubungan hak dan kewajiban dengan manusia lainnya, terlebih dalam hal yang bersifat kepentingan umum.
”Di dalam Islam itu tidak ada batasan pergaulan. orang mau bergaul sama siapa pun itu tidak ada masalah, Kita ini hidup sebagai manusia, ada hubungan terhadap sasama manusia, ada hak dan kewajiban kita terhadap sesama manusia,” ujar pria yang sering memberikan pencerahan melalui channel Youtube Maton TV ini.
Menurutnya, di era sekarang ini manusia hidup dalam satu negara, hidup dalam satu komunitas yang tentunya tidak boleh membatasi diri dalam bergaul hanya sesama muslim saja. Itu artinya sama saja membentuk segregasi dalam kehidupan sosial. Karena membentuk perbedaan-perbedaan sosial itu tidak bagus. Termasuk dalam kasus penolakan pembangunan rumah ibadah umat non-muslim.
“Kita di Indonesia yang juga ada banyak orang Kristen, kemudian ingin mendirikan gereja yang selama itu sudah memenuhi ketentuan-ketentuan. Kita tidak mesti harus melarang selama dia sudah memiliki legalitas. Kenapa mesti harus dilarang? Undang-Undang sudah menjamin hal itu, jadi jangan hanya maunya sendiri,” jelas Direktur Damar Institute ini.
Suaib juga menjawab terkait kontradiksi antara makna ungkapan Al Wala’ Wal Bara’ dengan konsep Islam yang rahmatan lil alamin, dimana Islam dan umat muslim sejatinya memberikan kemanfaatan bagi orang lain dan alam semesta.
”Kalau dimaknai secara keliru tentunya itu bertentangan. Jadi kalau ada orang mengatakan saya hanya bisa baik terhadap sesama orang muslim, itu pasti bertentangan dengan konsep rahmatan lil alamin. Tetapi kalau dia memaknai loyalitas itu adalah untuk kebaikan dan kemanfaatan ya itu tidak masalah,” jelas Kiai Suaib.
Ia berharap bahwa semestinya ormas dan para tokoh-tokoh moderat dapat berperan guna meluruskan dan menetralisisr doktrin keliru dari Al Wala’ Wal Bara’.
“Saya berpikir ormas-ormas Islam maupun komunitas komunitas muslim dan juga para ustadz dan juga para guru-guru agama dan lain sebagainya sebaiknya menghindari doktrin-doktrin seperti ini, karena akan menciptakan manusia-manusia yang ekstrem, fanatik dan eksklusif. Dan ini tentu berbahaya bagi dia sendiri dan bagi umat Islam sendiri,” ungkap alumni Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir ini.
Tak hanya itu, ia menilai bahwa masyarakat berhak mendapatkan penjelasan yang benar terkait konsep dan doktrin tersebut agar nantinya tidak terjerumus kepada perilaku serta justifikasi untuk melakukan tindakan kekerasan.
“Kita harus menjelaskan makna yang sebenarnya tentang apa itu jihad, tentang apa itu hijrah, apa itu syahid, apa itu Al Wala’ Wal Bara’, apa itu Al Malhamah Al Kubra (perang akhir zaman), yang mana semua itu harus dijelaskan secara proposional. Bukan penjelasan yang dibuat atau yang didoktrin kan oleh kelompok-kelompok radikal yang menyesatkan dia dan orang-orangnya,” pungkas Kiai Suaib. BK/Man