JAKARTA, BK
Salah satu dari 14 isu krusial yang menjadi sorotan publik mencuat dalam seminar bertajuk “Mencermati Rancangan KUHP dalam Pembangunan Hukum Indonesia, di Grha Oikumen, Jl. Salemba Raya, Jakarta, Kamis (11/8) adalah delik keagamaan atau delik penodaan agama.
Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkuham) Prof. Dr. Edward Omar Sharif Hiariej, SH, MH mengemukakan, sejarah lahirnya hukum penodaan agama di Belanda adalah untuk melindungi hak-hak agama monoritas.
“Dalam hukum penodaan agama adalah usulan dari Partai Demokrat Kristen yang mengusulkan pasal penodaan agama. Hukum ini tujuannya melindungi hak-hak minoritas,” ujar Edy, panggilan Edward Omar Sharif Hiariej sebagai pembicara kunci.
Wamenkumham mengatakan, pasal penodaan ini tetap diterapkan dengan memberikan pemahaman kepada aparat hukum akan pemberlakukan hukum ini jangan sampai diskriminatif, dan menimbulkan konflik di masyarakat.
Menanggapi hal tersebut, Teolog dari Sekolah Tinggi Filsafat dan Teoloigia (STFT) Jakarta Pdt. Dr. Albertus Patty mengatakan, bahwa undang-undang penodaan agama lebih diperuntukkan kepada kalangan minoritas, ketimbang mayoritas.
Dia menyoroti kasus Meilana di Sumatera Utara yang hanya meminta suara toa masjid diperkecil, menjadi polemik hingga terjadi kerusuhan berbau SARA, dan berdampak Meilana dihukum.
“Kasus Ferdinand Hutahean, saya bingung kenapa masuk penjara. Ketika bicara Allah yang lemah, saya kira biasa-biasa saja. Orang Kristen Allahnya disalib, tapi biasa saja,” ujar mantan Ketua Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) itu.
Lebih lanjut dia menceritakan kasus Lia Eden yang hanya karena beda tafsir harus masuk penjara sebab berbeda tafsir dengan kalangan mayoritas.
Albertus juga mengkritik kebijakan pemerintah terkait pernikahan beda agama yang ditolak pemerintah, khususnya Menteri Agama dan Menkumham. Padahal, pernikahan beda agama sudah terjadi di Indonesia selama ini.
“Dengan melarang masyarakat menikah berbeda agama, yang dirugikan adalah masyarakat menengah ke bawah. Akibat larangan itu, membuat mereka kumpul kebo. Sebaliknya, kalau masyarakat yang punya uang keluar negeri saja mencatat pernikahannya,” ujarnya.
Menurut dia, RKUHP terkait penodaan agama dan pernikahan beda agama mendapat penolakan lebih penekanan mentalistik, tidak rasional, dan pragmatis. “Lebih pada tujuannya untuk dapat konstituen, bukan berpikir positif atau mencerdaskan masyarakat. Ini yang harus diwaspadai. Bukankah ini suatu kemunafikan, sebab undang-undang, pemerintah berharap masyarakt saleh atau suci,” tambah Albertus.
Dia mengingatkan, bila undang-undang lebih menpertimbangkan kepentingan mayoritas maka ruang-ruang privat akan menjadi ancaman. “Ketika undang-undang ini disahkan, maka polisi dan masyarakat akan merazia hotel-hotel, kos-kosan, dan rumah kita. Ini intervensi yang sangat mengerikan,” katanya.
Sementara itu, Dosen Program Studi Hukum Universitas Pelita Harapan Jamin Ginting mengingatkan, hukum harus hidup di masyarakat. “Membuat hukum pidana maka menganut azas legalitas, dan tidak terima bila hukum pidana tidak tertulis. Semua hukum pidama harus tertulis,” tukas dia.
Namun demikian, Jamin mengakui bahwa setiap masyarakat di suatu daerah memiliki keunikan dan adat masing-masing. Karena itu dalam penegakan hukum hakim, harus mempertimbangkan kearifan lokal sehingga tidak terjadi persinggungan teritorial. “Ini harus teke out dari KUHP,” katanya.
Guru Besar Hukum Universitas Kristen Indonesia Prof. Dr. John Pieris, SH, MS dalam pembuatan KUHP harus berdasarkan filosofi yang tidak bertentangan dengan Pancasila dan Pembukaan dan UUD 1945. “Hukum positif itu adalah hukum yang hidup di masyarakat,” tandasnya.
Lewat daring, Pakar Hukum Tata Negara Universitas HKBP Nomensen Sumatera Utara Dr. Budiman NPD Sinaga, sangat mengapresiasi pembuatan KUHP yang dilakukanPemerintah. “Sudah 77 tahun Indonesia merdeka, tapi sampai saat ini KUHP yang kita miliki adalah buatan Belanda. Para pendiri bangsa ini sudah mengamanatkan pembuatan hukum berdasarkan produk pemikiran sendiri,” paparnya.
Pengamat Hukum Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga Dr. Marihot Janpieter Hutajulu mengemukakan, dalam pembuatan KUHP mesti lebih mengedepankan filosofi sila ke-5 dari Pancasila. “Harsunya mengedepankan keadilan sosial dalam pembuatan undang-undang. Bukan sila pertama atau kedua,” ujar Marihot.
Dia menolak bila pasal penyerangan martabat presiden atau wakil presiden dimasukkan dalam KUHP. Menurutnya, bila pasal ini diterapkan makam akan membahayakan kebebasan berekspresi. “Pasal ini harus dihilangkan,” jelasnya.
Ketua Umum PNPS GMKI Febry Tetelepta meminta seluruh elemen masyarakat Kristen ikut berpartisipasi memberikan masukan terhadap Rancangan KUHP yang ingin diundang-undangkan. “Kita berharap KUHP yang terbentuk nanti sangat mengakomodir kepentingan semua golongan, tanpa terkecuali. Bahwa Indonesia adalah milik semua, bukan satu kelompok, tegas Deputi I Kepala Staf Presiden itu.
Seminar tersebut dimoderatori Praktisi Hukum Dr. Bernard Nainggolan dan Wartawan senior Kompas Sonya Helen Sinambor. Juga dihadiri anggota MK Daniel Yusmic Foekh, Sekjen PNPS GMKI Dr. Sahat HMT Sinaga, Bendahara Umum PNPS Astro Girsang, Guru Besar Universitas Hasanuddin Marthen Napang. (ralian/BK)
550 total views