Bandar Lampung, BK – Jagad dunia maya masih saja disibukkan dengan berbagai konten narasi yang bernuansa hasutan, cacian, provokasi dan adu domba.
Dari elite politik dan tokoh nasional yang sudah selayaknya berperan kesopanan dalam menyampaikan narasi, namun justru menularkan konflik dan kebencian. Karena itulah, Indonesia membutuhkan upaya dan gerakan bersama untuk hijrah dari narasi kebencian yang berpotensi memecah belah persatuan bangsa.
Ketua bidang Agama Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Provinsi Lampung, Ustaz Suparman Abdul Karim, S.Ag, M.Pd.I., menyayangkan fenomena yang terjadi. Tatkala maraknya elit politik dan tokoh nasional yang justru terjerat pada kasus penyebaran narasi ujaran kebencian yang dapat berujung pada perpecahan di masyarakat.
“Ketika mereka memperjuangkan aspirasinya, keinginan, dan tujuan sesuai dengan aturan yang ada maka itu dijalur yang benar. Tetapi ketika hal itu diperjuangkan dengan cara yang salah, menebar kebencian, maka ia tidak akan pernah mendapat kemenangan melainkan kehinaan,” ujar Suparman Abdul Karim di Bandar Lampung, Kamis (29/7/2022).
Sejatinya lanjut Suparman, ujaran kebencian merupakan ekspresi dari kebencian itu sendiri, penyakit hati yang sangat merusak pribadi. Dan hal ini menurutnya justru akan menjadi persoalan ketika diekspresikan secara liar, khususnya di media sosial.
“Saat itu diekspresikan secara liar di media sosial dan direspon orang banyak maka akan mempengaruhi banyak orang. Yang pro akan terus meyebarkan kebencian, yang kontra akan memunculkan reaksi negatif terhadap kebencian yang disebarkan,” jelasnya.
Ia mengungkapkan, dalam perpektif agama, ‘membicarakan keburukan orang lain dosanya lebih kejam dari berzina’, sedangkan ketika yang dibicarakan atau disampaikan tidak sesuai fakta maka ‘fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan’, sehingga dibutuhkan suatu gerakan hijrah dari narasi ujaran kebencian dan pemecah belah.
“Kita harus berhenti dan mulai berhijrah. Karena sekali lagi, tidak akan mendapat kemenangan dan keberhasilan, kalau kita keluar daripada jalur yang ada (membuat ujaran kebencian),” tuturnya.
Ia menilai, gerakan hijrah dari narasi ujaran kebencian yang memcah belah sudah harus segera dimulai. Mulai dari diri sendiri, public figure, artis, tokoh agama, guru, hingga para mubaligh harus dapat memberikan contoh terbaik, dengan tidak saling menjatuhkan, melainkan saling mendukung.
“Semua orang harus mulai hijrah dari narasi ujaran kebencian, jadi artinya ada kompetisi yang sehat, saling menasehati satu sama lain, bukan saling menjatuhkan satu sama lain,” tegas anggota Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Lampung ini.
Suparman menambahkan, sebagai seorang public figure atau tokoh sejatinya sudah harus bisa menjadi teladan yang baik yang mampu memberikan contoh dan mengayomi masyarakat. Hal tersebut sebagaimana tertuang dalam Al-Quran, ‘Kullukum ra’in wa kullukum mas’ulun an ra’iyyatihi’ yang artinya ‘Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya’.
“Tapi yang jelas, disamping aspek etika moral, tanggung jawab setiap individu saya pikir memang regulasi harus terus ditegakkan, yang kurang kuat dikuatkan, setidaknya aturan ini menjadikan orang lebih bertanggung jawab terhadap apa yang ia tuliskan dan sebarkan,” ungkap pendiri Sedekah Seribu Sehari.
Ia berharap peran para tokoh agama dapat lebih ditonjolkan dan tegas dalam hal mengarahkan umat ke jalan yang benar, bukan justru menjadi provokator yang justru menjerumuskan umat kepada hal yang negatif.
“Masyarakat dalam hal ini juga harus cerdas, karena tidak semua orang yang bicara tentang agama adalah benar, karena ia manusia biasa, ada intervensi hawa nafsu dalam dirinya. Dan agama ini hal yang paling mudah dimanipulasi,” ujar Suparman.
Menurutnya, apa yang disampaikan oleh mubaligh, tokoh maupun penceramah agama adalah pemahaman dan penafsiran, yang disatu sisi setiap penyampai agama harus bertanggung jawab dan memberikan teladan pada umat. BK/ Man