Utama  

Kurang Sosialisasi Diawal, Revitalisasi Alun-alun Pamulang Menuai Polemik di Masyarakat

Loading

TANGSEL, BERITAKOTA.COM – Rencana revitalisasi alun-alun Kecamatan Pamulang oleh Pemerintah Kota Tangerang Selatan (Tangsel) melalui Dinas Bangunan dan Tata Ruang (DBTR) Kota Tangsel menuai polemik di tengah masyarakat. Hal ini dipicu oleh adanya ekspose kegiatan pembangunan yang tidak didahului dengan kajian yang lebih komprehensif.

Sejumlah tokoh Tangsel yang hadir dalam ekspose rencana pembangunan di alun-alun Kecamatan Pamulang di aula Kecamatan Pamulang pada Rabu (22/06) lalu, justru hadir hanya menjadi pendengar yang baik dan bukan pada posisi yang diminta memberikan masukan/saran atas rencana kegiatan yang akan dilaksanakan.

Polemik dan keprihatinan sejumlah tokoh Tangsel tersebut tentunya harus menjadi perhatian pemerintah kota Tangsel, karena pada akhirnya kegiatan pembangunan tersebut akan menjadi citra dan salah satu icons penting di Kota Tangsel.

Dalam kesempatan khusus, saat ditemui dan diminta pendapatnya di sekitar kawasan kantor Kecamatan Pamulang, Jum’at (24/06), mantan Ketua Dewan Kesenian Kota Tangerang Selatan, Anggota Tim Sembilan (9) Perumus Lambang Daerah/Logo Kota Tangsel, Budayawan dan Sejarawan, yang juga Kepala Dinas Budaya Pariwisata Lumbung Informasi Rakyat (LIRA) Kota Tangsel Agam Pamungkas memaparkan, penataan bangunan dan lingkungan di daerah Kabupaten/Kota memerlukan banyak kajian dari berbagai aspek, diantaranya etika dan kearifan lokal selain soal estetika. Terlebih lagi pembangunan dimaksud berada di lingkungan yang secara eksisting menjadi kawasan pemerintahan kecamatan, markas komando Kepolisian Sektor (Polsek) Pamulang, markas Komando Rayom Militer (Koramil) Pamulang, Kantor Urusan Agama (KUA) Pamulang, dan masjid agung Al-Mujahidin.

Agam Pamungkas mengungkapkan, bahwa secara umum pihaknya menerima dengan baik apa pun kebijakan pemerintah, apalagi yang berkaitan dengan revitalisasi alun-alun Kecamatan Pamulang untuk menjadi lebih bagus. Hanya saja, lanjut Agam, bila menggunakan disiplin ilmu dan kompetensinya sebagai pengamat seni, budayawan, sejarawan, dan lembaga LIRA ada beberapa point penting yang perlu disampaikan kepada para pihak. Point-point yang disampaikan tersebut adalah bahwa setiap aspek pembangunan dalam sebuah wilayah, disamping mengedepankan sebuah estetika tetapi jangan meninggalkan sebuah etika dari sebuah pembangunan itu sendiri.
“Artinya, etika dan nilai-nilai dari kearifan lokal itu harus tetap dijaga dan itu bisa tertuang dalam bentuk bangunan,” terangnya.

Agam mencontohkan, bahwa kejayaan peradaban Mesir terlihat dari bangunan-bangunan yang ada. “Kita bisa lihat Bali dari bangunan-bangunannya. Demikian juga dengan Jawa bisa dilihat dari bangunannya. Artinya, nilai-nilai kearifan lokal itu (sebelumnya) harus dipelihara dan disosialisasikan dengan baik kepadanya masyarakat,” imbuhnya lagi.

Ditegaskan Agam, bahwa jangan serta merta konsep pembangunan sudah jadi, kemudian baru disampaikan ke masyarakat. “Jangan selesai DED kemudian dipaparkan dan atau dipublish ke masyarakat, lalu masyarakatnya bingung, karena rencana bangunan sudah jadi, apa yang mau disampaikan,” uangkap Agam Pamungkas, setengah bertanya. (Zal)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *