Jakarta, BK – Indonesia kembali dikejutkan dengan penangkapan seorang mahasiswa salah satu perguruan tinggi di Jawa Timur yang diduga masuk dalam jaringan terorisme global. Itu menunjukkan bahwa paparan ideologi radikal terorisme tidak mengenal status dan tingkat pendidikan. Faktanya, infiltrasi paham ini telah lama masuk dalam sektor pendidikan melalui berbagai celah yang seakan diabaikan lembaga pendidikan.
Pengamat Pendidikan Nasional, Darmaningtyas, menyayangkan peristiwa tersebut. Ia menilai sejatinya radikalisme di kampus merupakan tanggungjawab semua pihak. Dan upaya pembenahannya tidak bisa hanya dibebankan pada kampus semata, namun institusi pendidikan secara keseluruhan.
“Itu bukan semata-mata tanggung jawab pihak kampus, tetapi juga institusi pendidikan secara keseluruhan, mulai dari SMP, SMA juga. Kalau doktrinnya di SMP dan SMA itu sudah kuat, ya tentunya ketika menjadi mahasiswapun juga mereka tidak bisa digoyahkan Jadi ini menjadi tanggung jawab bersama,” ujar Darmaningtyas di Jakarta, Kamis, (2/6/2022).
Ia menjelaskan, tidak ada yang salah dengan sistem penerimaan mahasiswa di kampus, karena pada dasarnya perguruan tinggi merupakan tempat yang ingin dimenangkan oleh setiap kelompok atau golongan untuk bisa eksis.
“Saya kira kalau dalam proses penerimaannya itu tidak ada yang salah. Tapi saya katakan bibit-bibit itu sudah muncul sejak dulu. Di mana pasca reformasi itu justru di kampus kampus negeri dikuasai oleh kelompok-kelompok yang cenderung ke kanan,” tutur Darmaningtyas.
Ia menyayangkan jika ada institusi perguruan tinggi yang cenderung meremehkan masalah radikalisme di lingkungan kampus. Menurutnya ini cenderung akan membuat mahasiswa terhegemoni oleh pandangan-pandangan radikal yang tidak disadari.
“Sebenarnya akan menjadi bahaya kalau masalah radikalisme di kampus ini dianggap remeh, didiamkan saja dan tidak ada counter wacana. Karena jumlahnya kan mungkin sedikit. Justru karena sedikit itu mereka menjadi militan,” jelasnya.
Menurutnya, kunci utama guna mengurai persoalan radikalisme di lingkungan institusi pendidikan ialah bagaimana mewujudkan agar tatanan atau nilai-nilai yang ada di dalam Pancasila itu terimplementasi dengan baik.
“Jadi kuncinya menurut saya di situ saja, sehingga orang tidak perlu mencari cari ideologi lain, kecuali dia melaksanakan dan mengimplementasikan Pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara ini secara baik,” katanya.
Untuk mengatasi masalah itu, Darmaningtyas menilai perlu dibangunnya kebijakan, yaitu melalui counter wacana, dimana kampus perlu lebih menggalakkan upaya guna memperkenalkan ideologi Pancasila secara lebih nyata kepada siswanya dan juga counter perbuatan.
“Counter perbuatannya adalah dengan mengimplementasikan ideologi Pancasila secara nyata sehingga orang tidak lagi bermimpi tentang ideologi yang lainnya karena Pancasila pun sudah dianggap memberikan jawaban apa yang mereka inginkan,” tegasnya.
Ia menilai kerentanan mahasiswa sehingga mudah direkrut oleh kelompok radikal adalah akibat dari melihat adanya ketidak konsistenan di dalam kehidupan. Pancasila yang hanya ‘dicekoki’ sebagai sebuah teori dan hafalan tanpa contoh implementasi yang jelas dan konsisten.
“Ibaratnya seperti tiap hari dicekokin ideologi Pancasila, tetapi itu tidak terlihat di dalam praktek. Itulah kelemahan yang dimanfaatkan oleh kelompok radikal untuk merekrut anak muda. Karena kebingungan anak muda melihat ketidakkonsistenan disitu,” jelasnya.
Ia menyebut ada harus upaya-upaya konkrit yang dilakukan oleh segenap intitusi pendidikan baik dari tingkat pendidikan yang paling rendah hingga perguruan tinggi. Hal itu guna membangun institusi pendidikan yang nyaman, untuk mengembangkan sikap moderat dan toleran serta dapat menumbuhkan nilai toleransi sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.
“Pertama, memberikan mata pelajaran atau kuliah Pancasila kepada seluruh siswa di tiap tingkat pendidikan. Kedua, mengembangkan berbagai kegiatan ekstrakurikuler seperti seni dan olahraga.
Inikan yang tidak kita sadari, baik itu kesenian ataupun olahraga itu dapat mengurangi pandangan-pandangan yang radikal,” ujar Alumni Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta ini.
Menurutnya, mengembangkan berbagai kegiatan ekstrakurikuler seni dan olahraga itu menjadi penting di lembaga pendidikan. Ini agar para siswa selain belajar, mereka juga dapat membangun kebersamaan melalui kegiatan seni dan olahraga. Karena dengan sikap seseorang yang tertutup dan enggan bersosialisasi, maka ia akan mudah dipengaruhi pemikiran radikal.
Darmaningtyas berharap ada upaya serius dari pemerintah dalam merespon kasus radikalisme di lingkungan Pendidikan agar tidak semakin berlarut, melalui asistensi Pendidikan Pancasila yang didahulukan dan digalakkan diawal masa pendidikan hingga berkelanjutan. BK/Man