Jakarta, BK– Ustadz Abdul Somad (UAS) dilarang untuk memasuki wilayah Singapura oleh pemerintah setempat pada tanggal 17 Mei 2022 lalu. Otoritas pemerintah Singapura menyatakan, penolakan ini sebagai akibat dari paham ekstrem yang pernah disebarkan UAS melalui dakwahnya. Hal ini kemudian menjadi perbincangan hangat di tanah air, hingga dikaitkan dengan islamofobia hingga muncul narasi ‘negara Kafir’, kriminalisasi terhadap ulama dan seruan untuk ganyang Singapura.
Dosen Magister Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) dari Universitas Muhammadiyah Jakarta, Drs. Sri Yunanto, M.Si, Ph.D, mengemukakan apresiasinya terhadap ketegasan pemerintah negara Singapura terkait persoalan ini. Menurutnya kejadian penolakan UAS untuk masuk Singapura merupakan bagian dari hak kedaulatan Singapura guna melindungi eksistensi negaranya dari paham intoleransi dan radikalisme.
“Saya mengapresiasi apa yang dilakukan pemerintah Singapura. Dalam artian bahwa Singapura sudah mempunyai satu sikap yang sangat tegas terhadap paham paham yang membahayakan persatuan dan kesatuan bagi bangsa dan masyarakatnya,” ujar Drs. Sri Yunanto, M.Si, Ph.D di Jakarta, Senin (23/5/2022).
Ia melanjutkan, dalam kasus UAS ini masyarakat seharusnya juga menyadari bahwa di era digital seperti sekarang ini jejak digital itu bukanlah hal yang mudah dihilangkan. Terlebih yang terkait pada pernyataan SARA dan ujaran kebencian terhadap kelompok lain. Singapura sendiri mempunyai komitmen yang sangat besar menjaga pluralisme keberagaman bangsanya.
“Mau bilang apa pun, tapi jejak digital itu nggak bisa dihilangkan. Jejak digital itu borderless, tidak ada batas. Singapura cukup ‘berhati-hati’ terhadap segala macam ide-ide atau pikiran-pikiran dalam pemahaman UAS yang bisa membahayakan kesatuan Singapura seakan muncul gitu,”ucap Sri Yunanto.
Lebih lanjut Sri Yunanto lantas mengkritisi sebaran narasi yang beredar dari kelompok radikal yang mengaitkan dengan islamophobia, kriminalisasi ulama hingga narasi ‘Negara Kafir’. Menurutnya, ini merupakan hal yang berlebihan dan tidak berdasar.
Dirinya menegaskan bahwa sikap Singapura ini tidak lain karena negara tersebut memiliki kedaulatan dan regulasinya sendiri dalam melindungi warga negaranya yang juga plural.
“Jadi itu bukan islamophobia ataupun kriminalisasi ulama. Tetapi apa yang dilakukan Singapura ini adalah untuk me-warning bahwa jangan sampai agama itu dijadikan sumber terhadap perpecahan dan suku ataupun etnik yang dapat membahayakan kesatuan dan persatuan bagi warga di Singapura,” katanya.
Oleh karenanya, Sri Yunanto juga menyayangkan sikap UAS dalam persoalan ini. Ia berharap agar kejadian ini dapat menjadi pelajaran yang dapat diambil oleh semua pihak khususnya tokoh agama untuk dapat memberikan dakwah yang menyejukkan, mendamaikan dan mempersatukan seluruh umat manusia.
“Saya kira ini buat Ustadz Abdul Somad sendiri kedepannya juga harus bisa menunjukkan bagaimana kemudian di dalam ceramah-ceramahnya nanti bisa menunjukkan kesejukan menunjukkan persatuan dan toleransi antar umat beragama,”ujarnya.
Menurutnya, bahwa seseorang itu diterima dan ditolak masuk ke sebuah negara lain itu sesuatu hal yang wajar. Wajar dalam artian ada alasan-alasan yang tidak bisa disama ratakan dan ini buat semuanya, terutama buat para pendakwah.
“Sebenarnya bukan hanya Islam saja kalau dalam kasus di Singapura ini. Dulu pendeta dari agama Kristen asal Amerika yang mengajarkan kebencian kepada umat Islam atau ide-ide yang yang mengajarkan kekerasan dan intoleransi itu juga pernah ditolak masuk Singapura juga kan. Jadi bahasanya pemerintah Singapura ini sopan,’anda ditolak masuk’. Jadi dia (UAS) bukan ditangkap,” tegasnya.
Dalam hal ini, ia melihat masyarakat masih belum mampu menerima fakta bahwa praktik penyebaran paham radikalisme dan intoleransi yang sudah sangat masif menjangkiti serta masuk ke semua lini kehidupan bermasyarakat. Karena itu, masyarakat perlu disadarkan, disamakan persepsi bahwa semua agama tentunya mengajarkan perdamaian, kemudian antar pemeluk agama ini mempunyai satu sikap yang toleran dan menolak tafsir-tafsir dari agama yang radikal untuk tujuan-tujuan kekerasan seperti terorisme.
Disamping itu, ia menilai pentingnya peran tokoh agama dan tokoh masyarakat dalma hal ini meredam situasi ditengah masyarakat agar tidak berlarut hingga menimbulkan perpecahan. Sri Yunanto berharap segenap tokoh agama dan tokoh masyarakat untuk mampu menjernihkan melalui dakwah moderat.
“Saya kira tokoh-tokoh moderat itu bisa juga membantu menjernihkan. Untuk melihat masalah ini dengan jernih. Jangan sampai ada pandangan apa yang terjadi kepada Ustadz Abdul Somad ini itu dianggap sebagai kriminalisasi ulama, padahal sebenarnya nggak seperti itu,” jelas ucap peraih Doktoral dari Universiti Sains Malaysia ini.
Dalam kesempatan yang sama, Sri Yunanto juga melihat bahwa permasalahan UAS yang terjadi harus juga menjadi tantangan bagi pemerintah Indonesia untuk segera mem-breakdown atau mendetailkan aturan-aturan dalam perpektif hukum agar penanganan radikalisme dapat dilakukan secara lebih masif.
“Saya kira negara juga harus segera mem-breakdown atau mendetailkan aturan-aturan itu dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 2018 untuk menangani radikalisme dan terorisme dari hulu sampai hilir,” ucapnya.
Ia menegaskan bahwa dalam kasus UAS ini tidak ada unsur kriminalisasi terhadap ulama sebagaimana narasi yang tersebar. Namun ia juga optimis ketegangan ini bisa diperbaiki dengan komunikasi antara pihak UAS dan pemerintah Indonesia sendiri guna meluruskan isu-isu yang beredar.
“Sekali lagi saya katakan bahwa saya tidak melihat bahwa Ustadz Abdul Somad itu dikriminalisasi. Lain halnya kalau misalnya UAS ini ditangkap pemerintah Singapura, maka bagaimanapun UAS ini sebagai warga negara Indonesia berhak mendapatkan perlindungan dari negaranya. Konsen pemerintah Singapura itu adalah soal substansi apa yang pernah disampaikan dalam dakwahnya, bukan individunya,” tandasnya. BK/Man