JAKARTA, BK – PT Bank Negara Indonesia (Persero) atau BNI dinilai belum serius untuk menggarap pembiayaan berkelanjutan karena masih membiayai sektor yang berkaitan dengan batu bara, baik pertambangan maupun pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Bahkan ada dugaan bank pelat merah tersebut mendanai pengusaha besar batubara di Sumatera Selatan tanpa agunan.
Berdasarkan studi dari lembaga Urgewald dan Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA), BNI tercatat saat ini masih memberi pinjaman ke perusahaan batu bara yang terdaftar pada Global Coal Exit List (GCEL) 2020. BNI diduga mendanai proyek tidak ramah lingkungan hingga US$1,83 miliar, setara Rp27 triliun selama periode Oktober 2018 hingga Oktober 2020.
Hal itu pun diamini Staf Khusus Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bidang Tata Kelola Minerba Irwandy Arif. Dia menyebut perbankan di RI ramai-ramai masih memberikan pendanaan untuk industri batu bara, bahkan jumlahnya mencapai Rp 89 triliun. Dia mengatakan berdasarkan data dari Urgewald pada tahun 2021 sebanyak enam bank RI masih memberikan pinjaman ke perusahaan batu bara yang terdaftar pada Global Coal Exit List (GCEL) 2020.
Selama periode Oktober 2018 hingga Oktober 2020 total pinjaman mencapai Rp 89 triliun. Menanggapi hal tersebut, Pakar Hukum Pidana Universitas Indonesia Eva Achjani Zulfa mengatakan BNI seharusnya mengedepankan asas prudencial banking atau kehati-hatian karena yang dikelola adalah dana masyarakat. Hal itu dilakukan agar tidak terjadi perbuatan melawan hukum di internal corporatenya.
“Pada dasarnya di dalam lembaga perbankan dikenal adanya asas prudencial banking dalam mengelola keuangan serta pembiayaan yang melibatkan bank. Jadi sikap bank harus sangat berhati-hati karena menyangkut dana nasabah,” ujarnya kepada wartawan, Senin 9 Mei 2022.
Sebagai informasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menerbitkan Peraturan OJK (POJK) Nomor 51/POJK.03/2017 tentang Penerapan Keuangan Berkelanjutan. Dan Bank adalah lembaga intermediasi yang seharusnya bertanggung jawab kepada penyimpan dana dengan tidak menyalurkan kredit ke energi kotor batubara dan meningkatkan portfolio pembiayaan energi terbarukan.
Jika ditemukan indikasi pelanggaran hukum, maka penegak hukum seperti KPK maupun Kejaksaan harus turun tangan. “Bila hal ini dilanggar ketentuan dalam UU Perbankan mengenai prudencial banking ini ada dalam Pasal 49 ayat (2) huruf b, di mana ancaman pidananya minimal 3 tahun dan maksimal 8 tahun (penjara) dan denda maksimum 100 Milyar,” ujar Eva.
Sementara Pengamat Perbankan Deni Daruri mengatakan bahwa adanya petisi tersebut agar BNI menyusun strategi pembiayaan dari black ke green. “Petisi tersebut bertujuan baik. BNI pun seharusnya menyusun roadmap dan strategi peralihan pembiayaan dari black ke green, untuk memudahkan dan memitigasi berbagai resiko kedepan,” kata Deni kepada wartawan.
Kemudian terkait dengan muculnya dugaan adanya pendanaan perusahaan batubara tanpa agunan, Deni mengatakan bahwa perlu adanya transparansi ke publik, sehingga tidak menimbulkan asumsi. “Jika publik tahu belakangan akan berpengaruh terhadap citra perusahaan, kinerja ESG perusahaan juga akan menurun dan dampaknya pasti merugikan perusahaan sendiri,” kata dia.
Terkait masalah tersebut, Deni mengatakan sebetulnya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah memberikan 12 kategori kegiatan usaha berkelanjutan yang menjadi acuan LJK (Lembaga Jasa Keuangan) untuk melakukan pembiayaan.
“Namun memang belum ada sanksi ataupun insentif yang diberikan kepada OJK. Perlu adanya pengawasan serta review (sanksi dan insentif) jika ingin pembiayaan berkelanjutan dapat benar-benar berjalan,” ujarnya. Bk/yud