Benarkah Budaya Erat Melekat dengan Kekuasaan

 

OLeh: Agam Pamungkas Lubah

KENAPA  judul di atas saya pilih?
Apakah hal ini karena ketidaktahuan saya dari cerita panjang tentang evolusi peradaban kebudayaan? Entahlah. Batok kepala ini terlalu sesak dengan cross culture yang nyaris meracuni sendi-sendi pemahaman imajiner mudah saya tentang sebuah momok yang menakutkan yakni, budaya. Bahkan pada suatu kesempatan, saya pernah berdiri pada ketinggian hati dan berseru : “Welcome to strange culture”!

Bagaimana tidak, dengan terus bermunculannya pusat-pusat keramaian di jantung kota maka tidak bisa dihindari hal itu akan menjadikan kota tersebut sebuah kawasan melting pot kebudayaan. Beragam budaya akan di adon menjadi satu dan tersuguhkan lewat even-even pengelola usaha. Contoh paling dekat semisal memasuki bulan-bulan Oktober sampai dengan Desember nanti ini, di kota-kota besar di Indonesia biasanya akan disuguhkan dengan beragam budaya asing. Hampir disemua pusat pusat keramaian baik itu di Mall dan tempat tempat hiburan lainnya kita akan melihat aneka acara dan simbol simbol kebudayaan barat disuguhkan menarik. Seperti perayaan Halloween dan October Fest yang membuat hati ini semakin gamang.

Anda keliru jika beranggapan saya tidak pernah belajar tentang budaya. Saya sempat membaca buku buku section literature dan mencoba mendalami hal hal abstrak filosofi dunia. Bahkan puji memuji tokoh-tokoh dunia pun menjadi kegemaran saya. Sebut saja, Samuel Finley Morse, Louis Pasteur, Lao Tse, Sun Tzu, Gazali, Abduh, Gibran, Ronggowarsito, sampai ke Multatuli, orang yang kerap menjadi sebut-sebutan saya dalam peta pergaulan saya sehari-hari. Tadinya saya berangapan semua itu mampu memenangkan selera saya. Ternyata dugaan saya keliru. Sebab pada akhirnya buku-buku itu hanya menjadi pajangan indah di rak, duduk bersanding manis dengan novel novel, Hamlet, Macbeth, Otelo, Romeo and Juliet, mahakarya Shakespeare yang telah usang karena berkali kali saya baca.

Anda boleh bertanya kepada saya tentang musik, tarian, lukisan, sastra dalam maupun luar. Tentu semua itu akan saya jawab lewat kebodohan saya dengan mengutip bahasa dari orang-orang pintar yang ada dalam buku yang pernah saya baca itu, padahal saya sendiri belum bisa memastikan apakah saya sudah berbudaya. Atau ini yang disebut dengan BUDAYAWAN, yakni mengutip bahasa dan pandangan bijak dari sebuah buku yang sama sekali saya belum memahami latar belakang kebudayaan penulisnya?

Untuk itu saya membuka satu pertanyaan kepada siapa saja yang membaca tulisan saya ini. Apakah anda sudah berbudaya ditengah kota yang terus mengalami perubahan ini? Siapkah Anda? Jika masih ragu, maka mari kita duduk bersama memecahkan hal ini dengan sebuah penyederhanaan otak agar tersusun sosok imajiner muda kita yang mewakili keingintahuan kita akan cultura,(budaya). Barangkali kita sependapat.

Tod Jones, mengatakan, Kebudayaan itu erat melekat dengan selera Penguasa dan Kekuasaan. Dan itu terus berlangsung dan tereksploitasi sejak jaman kolonial belanda hingga hari ini dan menggerus sendi2 peradaban negeri ini.

Sebagaimana yg sy maksudkan diatas, sangat jelas bisa kita lihat bagaimana sebuah kekuasaan dapat membentuk sebuah budaya, begitupun sebaliknya, budaya yang telah dibentuk tersebut dapat menopang dan melanggengkan sebuah kekuasaan dalam sebuah komunitas maupun masyarakat kita. Sebagaimana yang dilakukan oleh para raja-raja jawa terdahulu terhadap rakyatnya demi mendapatkan sebuah dukungan, maka dibuatlah sebuah design cerita, yang tentunya tujuan dari hal tersebut tak lain sebagai sebuah alat untuk melegitimasi kekuasaan yang dipegangnya dan terus berlanjut kepada para keturunannya.

Bukan hal yang mengherankan hal semacam itu terjadi, karena ada anggapan dari segelintir orang yang memegang kekuasaan bahwa kelanggengan sebuah kekuasaan tanpa ditopang oleh legitimasi sebuah budaya, maka kekuasaan tersebut akan mudah untuk diruntuhkan.

Muncul pertanyaan mendasar dalam hal ini, perlukah hal itu terjadi di Tangsel? Apakah kekuasaan dapat mempengaruhi kebudaayan sebuah wilayah, ataukah sebaliknya?

Pandangan seperti ini jelas sangat dipengaruhi oleh pemikiran sosiolog Perancis, Pierre Bourdieu. Ia mengatakan bahwa ‘tindakan’ (practice) atau apa yang secara aktual dilakukan seseorang, merupakan bentukan dari aturan-aturan dan konvensi kebudayaan. Bahkan lebih jauh Tod Jones, menggambarkan relasi kekuasaan dan kebudayaan di Indonesia dari sebuah disertasinya bahwa kebudayaan selalu menampilkan sisi-sisi menarik yang memancing rezim kekuasaan untuk mengendalikannya.

Dengan melihat relasi antara kekuasaan dan kebudayaan pada suatu masyarakat, sebenarnya kita sedang dipertontonkan pada sebuah kesadaran penguasa dalam memahami kekuasaan yang ada. Mereka seolah sadar bahwa kekuasaan, seperti yang dijelaskan oleh Michel Foucault, tidak berpusat pada satu titik, namun menyebar dimana-mana. Oleh karena itu, kebudayaan yang mengandung potensi kekuasaan harus dapat dikendalikan, dengan harapan kekuasaan yang terkandung di dalam kebudayaan tidak mengganggu atau bahkan menentang kekuasaan mereka.

Budaya, adalah suatu perangkat rumit nilai-nilai yang dipolarisasikan oleh suatu citra yang mengandung pandangan atas keistimewaannya sendiri. “Citra yang memaksa” itu mengambil bentuk-bentuk berbeda dalam berbagai budaya seperti “individualisme kasar” di Amerika, “keselarasan individu dengan alam” di Jepang dan “kepatuhan kolektif” di Cina, “ramah tama” di Indonesia, sampai ke “Cerdas Modern Religius nya orang Tangsel”.

Citra budaya yang bersifat memaksa tersebut membekali anggota-anggotanya dengan pedoman mengenai perilaku yang layak dan menetapkan dunia makna dan nilai logis yang dapat dipinjam anggota-anggotanya yang paling bersahaja untuk memperoleh rasa bermartabat dan pertalian dengan hidup mereka.

Dengan demikian, budayalah yang menyediakan suatu kerangka yang koheren untuk mengorganisasikan aktivitas seseorang dan memungkinkannya meramalkan perilaku orang lain lewat tutur bahasanya.

Maka untuk menyederhanakan otak kita agar tak terlalu sesak dengan asap tembakau… mari kita berangkat dari hal-hal yg ringan untuk mengenal istilah budaya lewat kosa kata “CULTURE” yg kerap dijadikan sebagai pengganti kata “BUDAYA” itu sendiri, agar kita dapat mengimplementasikan prilaku berbudaya kita di tengah masyarakat.

Culture, berasal dari kata latin “cultura”, yang berarti to cultifate (menanam, memupuk, mengolah, mempererat), to cultifator (petani, alat pertanian, pengusaha tanaman).

Tapi untuk memahami lebih jauh, sebaiknya kita jangan terlalu terburu-buru. Saya yakin semua itu membutuhkan kesabaran otak yang panjang seperti apa yang saya alami dengan isi tempurung kepala saya saat ini. Tapi satu hal yang sedikit brilian menurut saya, ketika saya menjumpai istilah culture diawal abad ke-18 dan pertengahan abad ke-19. Kata culture kerap digunakan untuk segala urusan yang menyangkut soal cocok tanam.

Jika melihat dari asal muasal kata cultura, tak dapat dipungkiri lagi kalau budaya adalah sesuatu yang mesti ditanam, dipupuk, dan dipelihara dengan baik sesuai dengan tingkat kebutuhan masyarakatnya. Dipelihara pelan pelan, disirami setiap hari, lalu dibiarkan tumbuh dalam lingkungan yang baik. Bukankah BUDAYA selaiknya diperlakukan demikian?

Namun sayang, seiring dengan laju perkembangan masyarakat di perkotaan yang heterogen dan multi etnis saat ini, kebudayaan sering dikatikan dengan urusan pengetahuan dan selera super elegan yang pada akhirnya bermuara pada tinggi rendahnya derajat dan kedudukan seseorang dalam peta pergaulan sosial. Jika kita tak mampu mendewasakan diri dalam menyikapi fenomena ini, maka cepat atau lambat kita akan melihat kepiawaian dunia industri dalam meracik pola-pola sinkrintisme kebudayaan ini menjadi jauh lebih menarik dan berdaya jual tinggi untuk kepentingan golongan dan bukan pelaku budaya itu sendiri.

Satu contoh kecil misalnya, kita dapat melihat simbol-simbol lintas budaya secara eksesif dipakai baik dalam iklan, produk, maupun manajemen industri modern, yang sebenarnya adalah praktek budaya masyarakat yang dicomot dan dipopulerkan untuk keperluan profit. Sementa kita sendiri mulai mencakar wana, menggaruk bentuk, merobek imajiner lalu menyulamnya kembali dengan kata “gengsi”. Sehingga kebudayaan daerah yang tadinya dianggap mampu untuk memperkaya kebudayaan nasional tinggal cerita kenangan indah masa bersekolah dahulu.

Padahal kita sama sama tahu tentang realita budaya kita yang sedemikian banyak ragam bentuknya yang semuanya itu tertanam dengan baik dan tumbuh terpelihara dalam sentuhan etika moral yang maha santun, tersajikan lewat pesan akhlak yang maha sopan pula. Tapi kemana semua itu sekarang, adakah keberanian kita menggunakan kebaya, batik dalam peta pergaulan kita sehari hari akan hanya masyarakat india yang enggan melepas ‘sari’ dalam peta pergaulannya sehari-hari? Ataukah keberadaan kebudayaan kita hanya tersajikan lewat even-even seremonial dijajaran pemerintahan dan swasta semata? Ataukah memang ini yang disebut dengan evolusi peradaban budaya seingga mencerabut habis akar kebudayaan kita yang ada?

Wallahu a’lam bishawab
Semoga Manfaat

Padepokan Roemah Boemi Pamulang
20 Februari 2021

 825 total views

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *