JAKARTA, BK – Tim penyidik pidana khusus Kejaksaan Agung (Kejagung) memeriksa 4 (empat) orang saksi terkait kasus dugaan korupsi Proyek Pembangunan Pabrik Blast Furnace PT Krakatau Steel tahun 2011.
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Dr. Ketut Sumedana mengatakan, saksi yang diperiksa yakni, AMS selaku Kepala Divisi Manajemen Proyek Strategis PT Krakatau Steel tahun 2004 sampai 2009 dan DSP selaku Manager Raw Material Handling dan Management Plant.
“Dua saksi lainnya FAB selaku Anggota Tim Evaluasi Proses Tender dan ES selaku Anggota Tim Evaluasi Teknis Pra Kualifikasi Proses Tender,” kata Ketut dalam siaran persnya, Rabu (30/03/2022).
Ketut menyebutkan, pemeriksaan terhadap keempat saksi dilakukan untuk memperkuat pembuktian penyidik guna membongkar lebih dalam kasus tersebut. “Juga untuk melengkapi pemberkasan,” ujarnya.
Diketahui, kasus ini terjadi tahun 2011 hingga 2019, di mana PT Krakatau Steel membangun Pabrik Blast Furnance (BFC) bahan bakar batubara yang bertujuan untuk memajukan industri baja nasional dengan biaya produksi yang lebih murah.
“Karena dengan menggunakan bahan bakar gas biaya produksi lebih mahal,” kata Ketut.
Selanjunya, tanggal 31 Maret 2011 dilakukan lelang pengadaan pembangunan pabrik BFC yang dimenangkan oleh Konsorsium MCC CERI dan PT Krakatau Engineering Sumber Pendanaan Pembangunan Pabrik Blast Furnace.
Konsorsium itu, kata Ketut, awalnya dibiayai Bank ECA (Eksport Credit Agency) dari China, namun dalam pelaksanaannya ECA dari China tidak menyetujui pembiayaan proyek dimaksud karena EBITDA (kinerja keuangan perusahaan) PT Krakatau Steel tidak memenuhi syarat.
“Selanjutnya pihak PT Krakatau Steel mengajukan pinjaman ke sindikasi Bank BRI, MANDIRI, BNI, OCBC, ICBC, CIMB Bank dan LPEI,” ujarnya.
Dalam perjalanannya, nilai kontrak mengalami perubahan sebesar Rp 6.921.409.421.190. Pembayaran yang telah dilaksanakan adalah Rp 5.351.089.465.278 dengan rincian Porsi Luar Negeri Rp 3.534.011.770.896 dan Porsi Lokal Rp 1.817.072.694.382.
Anehnya, pekerjaan itu dihentikan pada tanggal 19 Desember 2019 karena belum berjalan 100%. Alasan lainnya, setelah dilakukan uji coba operasi biaya produksi lebih besar dari harga baja di pasar.
“Bahwa pekerjaan itu belum diserahterimakan dengan kondisi tidak dapat beroperasi lagi atau mangkrak,” katanya.
Ketut menambahkan, proyek tersebut juga telah melalui beberapa kali addendum sampai dengan tahun 2019.
“Rencana awal, proyek itu selesai di tahun 2015,” pungkasnya.(Chard)