Kasus Proyek Pabrik Blast Krakatau Steel, Penyidik Garap Mantan Direktur Keuangan

Loading

JAKARTA, BK – Tim penyidik pidana khusus Kejaksaan Agung (Kejagung) terus mengintensifkan pemeriksaan terkait kasus dugaan korupsi Proyek Pembangunan Pabrik Blast Furnace oleh PT Krakatau Steel tahun 2011.

Kali ini, 4 (empat) saksi langsung digarap penyidik untuk membongkar kasus tersebut. Yakni, HW selaku General Manager Proyek PT Krakatau Steel sejak Juli 2013 sampai Agustus 2019, NF selaku Manager Strategi Pendanaan PT Krakatau Steel tahun 2010 dan MS selaku Pensiunan (Anggota Tim Prakualifikasi Teknis) tahun 2009 sampai Juli 2012.

“Juga AH selaku Pensiunan atau Direktur Keuangan PT Krakatau Steel tahun 2015 sampai 2016. Keempat diperiksa sebagai saksi,” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Dr. Ketut Sumedana dalam siaran persnya di Jakarta, Selasa (22/03/2022).

Ketut menyebutkan, pemeriksaan terhadap keempat saksi dilakukan untuk memperkuat pembuktian dalam kasus tersebut. “Juga untuk melengkapi pemberkasan perkara,” tukasnya.

Diketahui, kasus ini terjadi tahun 2011 hingga 2019, di mana PT Krakatau Steel membangun Pabrik Blast Furnance (BFC) bahan bakar batubara yang bertujuan untuk memajukan industri baja nasional dengan biaya produksi yang lebih murah.

“Karena dengan menggunakan bahan bakar gas biaya produksi lebih mahal,” kata Ketut.

Selanjunya, tanggal 31 Maret 2011 dilakukan lelang pengadaan pembangunan pabrik BFC yang dimenangkan oleh Konsorsium MCC CERI dan PT Krakatau Engineering Sumber Pendanaan Pembangunan Pabrik Blast Furnace.

Konsorsium itu, kata Ketut, awalnya dibiayai Bank ECA (Eksport Credit Agency) dari China, namun dalam pelaksanaannya ECA dari China tidak menyetujui pembiayaan proyek dimaksud karena EBITDA (kinerja keuangan perusahaan) PT Krakatau Steel tidak memenuhi syarat.

“Selanjutnya pihak PT Krakatau Steel mengajukan pinjaman ke sindikasi Bank BRI, MANDIRI, BNI, OCBC, ICBC, CIMB Bank dan LPEI,” ujarnya.

Dalam perjalanannya, nilai kontrak mengalami perubahan sebesar Rp 6.921.409.421.190. Pembayaran yang telah dilaksanakan adalah Rp 5.351.089.465.278 dengan rincian Porsi Luar Negeri Rp 3.534.011.770.896 dan Porsi Lokal Rp 1.817.072.694.382.

Anehnya, pekerjaan itu dihentikan pada tanggal 19 Desember 2019 karena belum berjalan 100%. Alasan lainnya, setelah dilakukan uji coba operasi biaya produksi lebih besar dari harga baja di pasar.

“Bahwa pekerjaan itu belum diserahterimakan dengan kondisi tidak dapat beroperasi lagi atau mangkrak,” katanya.

Ketut menambahkan, proyek tersebut juga telah melalui beberapa kali addendum sampai dengan tahun 2019. “Rencana awal, proyek itu selesai di tahun 2015,” pungkasnya.(Chard)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *