Jombang, BK – Ulama, tokoh agama dan penceramah sebagai panutan umat tidak hanya bertanggungjawab dalam menjaga keimanan, tetapi juga keamanan umat. Penceramah sejatinya harus mengembangkan ajaran dan nilai yang bisa merawat persaudaraan keagamaan dan kebangsaan sebagaimana KH. Hasyim Asy’ari yang memiliki jasa besar bagi persatuan Indonesia dengan selalu berdakwah dengan semangat Islam rahmatan lil alamin dan nasionisme.
Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, KH Abdul Hakim Mahfudz menuturkan, semangat merawat persaudaraan keagamaan dan kebangsaan sejatinya merupakan ajaran yang hingga kini terus dipedomani oleh anak keturunan, ulama dan murid KH. Hasyim Asy’ari di Tebuireng.
“KH Hasyim Asy’ari sendiri sangat intens, perhatian dan berupaya mendorong persatuan, membangun ukhuwah. Bagaimana beliau menjaga persatuan diantara umat islam,”ujarnya di Jombang, Rabu (16/3/2022).
Ia melanjutkan, ada dua (2) hal pokok ajaran KH. Hasyim Asy’ari yang terus dijadikan pedoman oleh para murid dan santrinya secara turun-temurun sebagai warisan ajaran yang luhur dan khas.
“Bahwa mbah Hasyim sendiri mendorong pada persatuan. Tapi satu hal, persatuan itu paling mudah dicapai dengan keilmuan. Nah, dua hal ini yang diajarkan, satu adalah mencapai persatuan. Kedua, belajar mencari ilmu,” jelas pria yang kerap disapa Gus Kikin ini.
Ia melanjutkan, bukanlah tanpa alasan kalau KH Hasyim Asy’ari ini menekankan pentingya keilmuan. Pasalnya dengan keilmuan yang matang, maka akan membawa kepada kebaikan dan menjadi modal untuk membangun ukhuwah persatuan antar umat beragama dan golongan .
“Karena dari keilmuan tersebut, dahulu beliau mampu mengumpulkan berbagai macam kalangan, golongan yang berbeda paham pun beliau berhasil mempersatukannya,” ucapnya.
Ia juga menilai perlunya para dai, ulama maupun penceramah untuk dapat menggelorakan semangat nasionalisme dengan saling menguatkan, saling menjaga demi membangun persatuan di tengah masyarakat serta segenap bangsa Indonesia.
“Memang harus dipahami, di Indonesia itu memang islam aslinya ahlussunah wal jamaah. Ya islam yang moderat itu ada di Indonesia, islam yang wasatiyah ada di Indoensia dan itu harus memiliki semangat ukhuwah,” ujarnya.
Disamping itu, lanjut Gus Kikin, para penceramah perlu membuat masyarakat memahami bahwa semangat nasionalisme itu tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama dan dalam mengekspresikan keimanannya.
“Sebenarnya dalam Islam itu kita mengikuti apa yang sudah dijalankan oleh Rasulullah di Madinah. Di mana beliau mengakomodasi, mewadahi semua gologan, semua agama menjadi satu dan saling menjaga kehidupan bermasyarakat,” jelas Gus Kikin.
Menurutnya, para penceramah harus bisa memberikan pengertian kepada umatnya bahwa Rasulullah telah mengajarkan umatnya untuk hidup berbangsa dan mencintai bangsanya yang beragam. Sebagaimana Rasulullah menekankan kepada warga Madinah untuk komitmen menjalankan agamanya masing-masing dan tidak memaksakan agama Islam.
“Nabi Muhammad mengakomodir semuanya di Madinah, tidak ada menang-manangan tapi semua berbagi dan adil. Semua saling menjaga kehidupan,” ucap cicit dari KH. Hasyim Asy’ari ini.
Untuk itu, ia menilai, demi mendorong para ulama dan penceramah untuk dapat menggelorakan semangat nasionalisme di mimbar, perlu ada komunikasi dan dialog antara pemerintah dan penceramah serta ormas-ormas keagamaan terkait.
“Upaya jangka panjangnya adalah mulai dengan pendidikan agama yang benar. Jenjang ilmu itu harus terstruktur sehingga pemahamannya juga demikian, sehingga menyampaikan kepada masyarakat juga benar,” tuturnya.
Terakhir, Gus Kikin menyampaikan pesannya kepada masyarakat agar tidak ceroboh dalam memilih penceramah yang dijadikan panutan atau pedoman. Ia ingin masyarakat tidak menyimpulkan sesuatu sendiri apalagi yang terkait dengan konteks agama.
“Masing-masing punya pilihan, tetapi yang jelas jangan menyimpulkan sesuatu itu dari persepsi sendiri, karena dalam ajaran agama semua sudah tercatat, sudah ada aturannya jadi kalau memang ada yang kurang jelas maka tanya pada (ulama) yang mengerti,” pungkas Gus Kikin. (BK/Man)