Cegah Provokasi dan Perpecahan, Sterilkan Penceramah Radikal

Loading

Bogor, BK – Ruang dan mimbar agama selama ini terbukti sangat massif digunakan kelompok yang kerap mendistorsi agama untuk memprovokasi, memecah belah dan mendoktrin masyarakat untuk membenci yang berbeda dan anti ideologi bangsa, Pancasila. Bahkan tidak hanya masyarakat umum, keluarga TNI-Polri pun tak luput dari sasaran penceramah radikal.

Tak salah bila masalah ini menimbulkan keprihatinan mendalam Presiden Joko Widoodo (Jokowi). Pada Rapim TNI-Polri di Mabes TNI di Cilangkap, pekan lalu, Presiden Jokowi meminta seluruh jajaran TNI-Polri dan keluarganya untuk mempertegas urgensi untuk memutus mata rantai radikalisme dan terorisme yang telah menginfiltrasi di lingkungan aparat TNI-Polri, yang notabene sebagai benteng pertahanan NKRI dan Pancasila.

Mantan Direktur Eksekutif Maarif Institute Muhammad Abdullah Darraz, S.Si, MA, mengaku prihatin dengan keberadaan penceramah radikal. Menurutnya, infiltrasi radikalisme di masyarakat kerap kali diakibatkan oleh faktor ketidaktahuan masyarakat baik terhadap muatan radikal-ekstrem maupun ketidakpahaman terkait peta aktor dan kelompok yang membawa misi dan narasi radikal.
“Yang menjadi persoalan dalam setiap proses infiltrasi radikalisme (kelompok radikal) di tengah masyarakat adalah lemahnya resistensi, sebagai akibat dari ketidaktahuan masyarakat itu sendiri,” ujar Muhammad Abdullah Darraz, S.Si, MA di Bogor, Rabu (9/3/2022).

Dia melanjutkan, lemahnya resistensi masyarakat ditandai oleh ketidakpahaman terhadap pandangan radikal ekstrem yang dibalut dengan penjelasan keagamaan yang memukau. Sehingga hal tersebut membingungkan masyarakat untuk membedakan mana pandangan yang memiliki muatan radikal dan mana yang tidak.

“Kedua, ketidakpahaman masyarakat (termasuk di lingkungan aparat) terkait dengan peta aktor dan kelompok yang membawa misi dan narasi-narasi radikal. Sehingga masyarakat tidak paham siapa sebenarnya yang mereka undang itu,” tuturnya.

Menurutnya, kelompok radikal akan senantiasa mencari celah untuk masuk ke setiap lini demi menyebarkan paham radikalisme yang mereka anut. Dan modus yang kini digunakan adalah mengisi pengajian di berbagai komunitas, tidak terkecuali masuk di lingkungan aparat TNI-Polri beserta keluarganya.

“Mereka mencoba memberikan pengaruh secara lebih halus agar ideologi mereka dapat diterima di lingkungan aparat negara yang menjadi benteng pertahanan NKRI dan Pancasila,” jelasnya.

Ia menilai, infiltrasi halus seperti demikian di mimbar-mimbar agama tidak bisa dibiarkan. Karena hal ini berkiatan dengan narasi dan provokasi yang bisa membawa kepada kehancuran dan perpecahan bangsa.

“Jika tidak disterilkan, maka kita seperti ibarat menunggu kejadian yang ada di Suriah, Libya, Irak, dan beberapa negeri di Timur Tengah itu terjadi di Indonesia. Apalagi jika disulut dengan takfiriyah,” tegas Darraz.

Darraz melihat perlu adanya upaya intensif guna mensterilkan ruang mimbar agama dari penceramah radikal yang membawa dan menyebarkan ideologi transnasional untuk memecah belah bangsa.

“Cara yang cukup elegan adalah dengan mengaktifkan peran dari para tokoh masyarakat yang moderat di komunitas terkecil hingga ke lembaga pemerintahan termasuk di lingkungan aparat TNI-Polri itu sendiri,” ujarnya.

Selain itu, pemerintah juga harus lebih aktif untuk mengajak ormas-ormas Islam moderat agar mereka semakin giat dan aktif melakukan dakwah Islam yang wasathiyah.

“Masyarakat tentu harus diberikan paham keagamaan yang moderat serta diberikan bekal ‘pemikiran kritis’ agar dapat menolak dan mencegah potensi pandangan-pandangan radikal,” ungkap pria yang juga Pengurus Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhamadiyah.

Dalam pandangannya, pemahaman keagamaan moderat harus menjadi syarat utama bagi seorang dai atau penceramah diundang pada forum/mimbar keagamaan. Jika hal ini telah dilakukan, maka akan dapat membantu mengeliminasi tersebarnya paham radikalisme-ekstremisme dalam mimbar-mimbar keagamaan.
“Ormas keagamaan moderat juga harus aktif melakukan kaderisasi untuk menciptakan para dai/muballig/penceramah yang memiliki visi keagamaan moderat (Islam wasathiyah),” jelasnya.

Kaderisasi tersebut menurutnya, dapat dilakukan dengan melakukan pelatihan dan kampanye yang masif terkait pandangan keagamaan moderat kepada masyarakat dan juga aktif melibatkan penceramah dari luar organisasinya.

Terakhir, ia berpesan kepada para kader dai/mubalig/penceramah agar kedepan juga dapat memiliki pemahaman terkait politisasi agama agar para penceramah tak lagi menjadi alat kenpanjangan kelompok radikal demi meraih keuntungan dan kepentingan politik.

“Sebaiknya para calon dai/penceramah dapat membekali dirinya dengan pandangan-pandangan keagamaan yang moderat, kritis, toleran dalam perbedaan serta memiliki pemahaman terkait politisasi keagamaan,” pungkasnya. (BK/Man) 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *