Pasuruan, BK – Politisasi agama dengan menggunakan sentimen keagamaan dan “jualan dalil” untuk kepentingan politik yang bertentangan dengan nilai agama telah menjadi ciri infiltrasi kelompok radikal. Faktanya, politisasi agama yang demikian justru makin memperkeruh kondisi persatuan masyarakat Indonesia yang beragam.
Pengasuh Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadi’ien Pasuruan, KH Machrus Ali mengutarakan pandangannya terkait fenomena politisasi agama sebagai hal yang memang potensial terjadi di Indonesia sebagai bangsa yang relijius. Namun ia menilai hal tersebut dapat diantisipasi dengan memperkuat hubungan antara ulama dan pemerintah.
“Hal-hal semacam itu pasti ada saja, tapi insyaallah dengan persatuan antara ulama dan pemerintah, akan sulit bagi kelompok tersebut untuk merusak NKRI,” ujar KH Machrus Aly di Pasuruan, Rabu (16/2/2022).
Kiai Mahrus melanjutkan, fenomena politisasi agama ini kerap terjadi akibat perbedaan pandangan politik. Juga karena tokoh yang bersangkutan memiliki agenda dan visi misi sendiri untuk menyudutkan pemerintah yang sah.
Terlebih lagi, masyarakat Indonesia yang relijius ini seringkali dijadikan sasaran oleh kelompok yang suka mempolitisasi agama untuk diprovokasi dan memicu konflik di tengah masyarakat yang beragam.
“Makanya, hal-hal seperti ini bisa digerus bersama-sama dengan kerjasama pemerintah, organisasi, ulama dan juga santri,” ucap Kyai Machrus.
Ia meyakini bahwa di lingkungan pesantren bahkan ormas keagamaan besar seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Al-Wasliyyah, serta Mathlaul Anwar, dan lain sebagainya, tidak pernah ada istilah atau ajaran anti-pemerintah, anti-NKRI atau bahkan anti-Pancasila.
“Di lingkungan pesantren contohnya, NKRI ini sudah harga mati dan tidak bisa ditawar-tawar lagi,” ujar kiai yang juga Pembina Pondok Pesantren Al Ikhlas Pasuruan ini.
Terkait penanganan paham radikal terorisme yang mengatasnamakan agama, Kiai Mahrus memberikan apresiasi terhadap upaya Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dalam mempererat hubungan dan bersinergi dengan para alim ulama. Ia menilai hal ini adalah langkah yang tepat, sebagaimana ulama yang merupakan ujung tombak dari para umat.
“BNPT ini dekat dengan ulama. Antara ulama dan umara memang tidak bisa dipisahkan, jadi harus saling bekerjasama dalam hal ini untuk menjaga NKRI,” ucap alumni Pondok Pesantren Lirboyo Kediri ini.
Kiai Machrus juga mengamati fenomena di masyarakat yang cenderung terburu-buru dalam membagikan ilmu.
Padahal pemahamannya belum tuntas sehingga menyebabkan banyak timbul kekeliruan dan distorsi terkait ajaran agama.
“Misalnya, orang hanya baca sedikit di koran, di sosmed atau bahkan tabloid soal dalil ini dan itu. Alhasil pemahaman agamanya jadi hanya sepucuk, tidak didalami sehingga tidak paham ajaran agama yang sesungguhnya,” jelasnya.
Ia menilai, pemerintah harus memiliki program, baik dengan ulama maupun ormas keagamaan yang moderat untuk mensosialisasikan dan membina masyarakat untuk berkehidupan yang damai di tengah perbedaan,
“Program itu berupa penguatan nilai-nilai Pancasila dan manfaatnya, serta tentang menjaga NKRI dan sebagainya,” kata Machrus.
Terakhir, Dewan Pembina Pusat Lembaga Kemitraan Pondok Pesantren (LKPP) Indonesia ini juga menyampaikan pesannya untuk seluruh masyarakat, tokoh beserta pemerintah untuk senantiasa menjaga NKRI dari fitnah yang ditimbulkan oleh politisasi agama yang senantiasa berusaha untuk menimbulkan perpecahan di masyarakat.
“Saya dan Kiai-Kiai ini yang ada di Jawa Timur ini menginginkan jangan sampai ada kejadian itu. Kita jaga NKRI dan kita ramut (jaga/pelihara) NKRI kita,” katanya mengakhiri. (BK/Man)