Serang, BK – Organisasi Masyarakat (ormas) keagamaan berada dalam garda terdepan dalam pencegahan penyebaran radikal terorisme dengan memberikan vaksinanasi ideology kepada umat dengan menggaungkan nasionalisme dengan pendekatan agama. Yaitu ajaran agama yang baik dan benar, serta menjunjung tinggi toleransi, serta ideologi Pancasila. Pasalnya, ideologi terorisme sebagai gerakan politik kerap memanipulasi dan mendistorsi agama untuk mengganti ideologi negara dengan ideologi lain yang bertentangan dengan Pancasila sebagai konsensus nasional.
“Terorisme adalah gerakan politik kekuasaan dengan memanipulasi dan mempolitisasi agama yang bertujuan mengganti ideologi negara dengan ideologi transnasional. Wataknya adalah intoleran terhadap perbedaan dan keberagaman, serta eksklusif terhadap perubahan,” ujar Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Brigjen Pol R. Ahmad Nurwakhid SE, ME, di Serang, Banten, Sabtu (12/2/2022).
Pernyatan itu diucapkan Nurwakhid saat menjadi narasumber pada acara Rakernas I Pengurus Besar Mathla’ul Anwar dengan tema: “Arah Baru Menata Umat Merekat Bangsa”, di Hotel LeSemar, Kota Serang, Banten. Pada kesempatan itu, ia memberikan pemahaman terkait hubungan eksklusifisme, intoleransi, radikalisme dan aksi terorisme. Menurutnya, sikap eksklusif dan intoleran adalah watak dasar dari radikalisme, yang menjiwai semua aksi terorisme dan semuanya diawali oleh paham takfiri.
“Jadi tidak ada kaitannya aksi radikal terorisme dengan agama apapun, karena bertentangan dengan ajaran semua agama. Namun terkait dengan pemahaman dan cara beragama yang salah dan menyimpang dari oknum umat beragama, dan biasanya didominasi oleh mayoritas umat beragama di wilayah tersebut,” katanya.
Nurwakhid mengungkapkan, bukti dari efektivitas peran ormas keagamaan dan tokoh agama dalam melakukan pencegahan atau kontra radikalisasi terutama di dunia maya terlihat dari data indeks potensi radikalisme tahun 2019 yang berada di angka 38 persen. Begitu terjadi pandemi Covid-9 awal tahun 2020, dalam survei yang dillakukan BNPT bulan Oktober-November 2020, indeks potensi radikalisme itu turun dari 38 menjadi 12,2 persen.
“ Artinya apa? Salah satu faktor penurunan diakibatkan masifnya tokoh agama dan tokoh masyarakat moderat yang selama ini tidak aktif berdakwah di media sosial, menjadi aktif ikut berdakwah di berbagai platform media sosial,” ungkapnya.
Dalam survei Setara Institute, lanjut Nurwakhid, selama ini konten keagamaan intoleran dan radikal di media sosial atau dunia maya berada di kisaran lebih dari 67 persen, tapi sejak tahun lalu jumlah itu terus menurun setelah diimbangi konten keagamaan moderat yang dilakukan oleh para ulama, kiai, guru, dan anak muda yang selama ini tidak aktif di media sosial.
Ia melanjutkan, pentingnya peran ormas keagamaan juga dilandasi dengan bahayanya ideologi radikal terorisme sebagai gerakan politik, yang kerap memanipulasi agama untuk mengganti ideologi negara dengan ideologi lain yang bertentangan dengan Pancasila sebagai konsensus nasional.
Ia menegaskan bahwa tindakan, watak dan aksi terorisme yang terjadi selama ini tentunya sangat bertentangan dengan nilai agama dan nilai kearifan lokal bangsa yang sangat multikultural.
“Terorisme adalah gerakan politik kekuasaan dengan memanipulasi agama yang bertujuan mengganti ideologi negara dengan ideologi transnasional. Wataknya adalah intoleran terhadap perbedaan dan ekslusif terhadap perubahan,” tukas mantan Kapolres Gianyar ini.
Tak lupa, Nurwakhid juga mengingatkan kepada para peserta untuk terus meningkatkan upaya dan kewaspadaannya. Karena meskipun kelompok seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Jamaah Islamiyah (JI) dan Jamaah Ansyorut Daulah (JAD) sudah dibubarkan dan menunjukkan tren penurunan pasca ditetapkannya Undang-Undang No.5 Tahun 2018, namun ideologinya masih tersisa dan mengintai siapapun yang lengah.
“Sehingga penting kedepannya, untuk dibuat payung hukum atau peraturan yang melarang eksistensi setiap ideologi yang bertentangan dengan Pancasila. Meskipun Pancasila sudah teruji dengan 15 kali pemberontakan yang gagal seperti PKI, DI/TII, PRRI-Permesta, RMS, dan lainya” tuturnya.
Nurwakhid mengajak seluruh seluruh staheholder untuk terlibat aktif memutus celah dikotomi antara bernegara dan agama melalui kesiapsiagaan ideologi yang ditanamkan oleh para ulama, tokoh masyarakat, ormas, maupun pemerintah daerah. Khusus kepada semua anggota Mathla’ul Anwar sebagai ormas terbesar ke tiga di Indonesia untuk bersama melakukan perlawanan semesta dalam mencegah penyebaran radikal terorisme dan untuk menata umat merekat bangsa seperti tema Rakernas kali ini.
“Matha’ul Anwar bisa aktif terlibat mendukung kesiapsiagaan ideologi, melalui vaksinasi ideologi dengan menanamkan nasionalisme dengan pendekatan agama (yang Kaffah) kepada umat sehingga celah dikotomi antara bernegara dan agama hilang,” tandas mantan Kabag Banops Densus 88 ini.
Rakernas I Pengurus Besar Mathla’ul Anwar ini diawali Sambutan Ketua Umum PB. Mathla’ul Anwar (KH. Embay Mulya Syarief), dilanjutkan welcoming speech dari Wakil Gubernur Banten Dr. H. Andika Hazrumy S.Sos., M.AP., dan dibuka oleh Anggota Dewan Pertimbangan Presiden Bidang Kesejahteraan Rakyat H. Muhammad Mardiono yang diikuti oleh seluruh pengusus PB. Mathla’ul Anwar, pengurus daerah dan generasi muda Mathla’ul Anwar secara luring maupun daring melalui aplikasi zoom. Kemudian pada acara panel diawali oleh Wakil Ketua MPR RI, H. Arsul Sani, S.H., M.Si. terkait Sosialisasi 4 Pilar Kebangsaan. (BK/Man)