JAKARTA, BK – Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin mengingatkan jajarannya agar perlu mensosialisasikan kepada masyarakat bahwa tidak semua perkara dapat diselesaikan dengan mekanisme Restorative Justice dan penegakan hukum harus berjalan objektif dan profesional meskipun mendapat tekanan.
“Apabila terdapat perkara yang menarik perhatian masyarakat dan berpotensi menimbulkan kegaduhan, segera ambil langkah taktis secara cepat dengan mengedukasi dan menjelaskan duduk perkara melalui media massa, sehingga masyarakat mengerti dan mendukung langkah kejaksaan menuntaskan perkara tersebut di pengadilan,” kata Burhanuddin saat melakukan kunjungan kerja di wilayah Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Barat, Kamis (27/01/2022).
Tak hanya itu, Burhanuddin menegaskan, penegakan hukum jangan hanya memenuhi nilai kepastian dalam mencapai keadilan, tetapi juga harus bermanfaat dari penerapan hukum itu sendiri.
“Penegakan hukum harus dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, sehingga apabila penegakan hukum dipandang tidak memberikan kemanfaatan, maka hukum telah kehilangan rohnya,” ujarnya.
Menurutnya, salah satu contoh penegakan hukum yang tidak mampu menyerap rasa keadilan adalah kasus KDRT di Kejaksaan Negeri Karawang. Dalam kasus itu, tuntutan jaksa nampak mengabaikan rasa keadilan dan kemanfaatan sehingga menimbulkan kegaduhan.
“Oleh karenanya para Kajati dan Kajari untuk mencermati rasa keadilan yang tumbuh di masyarakat. Salah satu tolok ukur terpenuhinya rasa keadilan adalah ketika penegakan hukum yang dilakukan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat,” pintanya.
Terkait penerapan keadilan restoratif, lanjutnya, sudah13 perkara yang berhasil diselesaikan secara Restorative Justice di lingkungan Kejati Jawa Barat.
Ditambahkan, kebijakan Restorative Justice sebagai salah satu alternatif penyelesaian hukum menuai respon masyarakat yang sangat positif. Oleh karena itu, dengan pertimbangan kemanfaatan bagi masyarakat. Dia menilai bahwa ruang lingkup dan cakupan Restorative Justice dirasa perlu diperluas.
“Sehingga kemanfaatan penegakan hukum yang berhati nurani dapat dirasakan oleh masyarakat dalam lingkup yang lebih luas lagi dan telah memerintahkan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum untuk membentuk Kampung Restorative Justice,” jelasnya.
Sementara itu, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) Fadil Zumhana mengatakan, pihaknya siap menjalanka perintah untuk mengedepankan keadilan restoratif (restorative justice).
“Restorative justice ini adalah kemampuan jaksa dalam mengasah kearifan lokal, dimana setiap daerah memiliki kearifan lokal dan harus diasah dalam mewujudkan keadilan,” kata Fadil.
Ditegaskannya, jaksa harus bisa mengasah kearifan lokal dalam hal memberikan keadilan restoratif pada suatu perkara itu atau belum jadi perkara. Lalu peran Jaksa dalam kampung restorative justice haruslah proaktif dalam menyelesaikan masalah-masalah hukum yang dialami rakyat kita. “Selesaikan melalui kearifan,” tegasnya.
“Dengan adanya kampung Restorative Justice, diharapkan 1/3 masalah bisa diselesaikan dengan mengasah kearifan lokal. Selain itu pula, institusi Kejaksaan RI dapat berkontribusi untuk memberikan keadilan yang terasa, cepat, tanpa biaya, dan sederhana kepada masyarakat serta juga kontribusi kepada Pemerintah dalam mengatasi over crowded dalam Lembaga Pemasyarakatan ataupun Rumah Tahanan Negara (Rutan), karena akan berpengaruh banyak seperti biaya yang dikeluarkan negara dan tenaga penjaga (sipir) di Lembaga Pemasyarakatan maupun di Rutan,” sambungnya.
Sebelumnya, Jaksa Agung juga telah menerbitkan Pedoman Nomor 18 Tahun 2021 tentang Penyelesaian Penanganan Perkara Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika Melalui Rehabilitasi dengan Pendekatan Keadilan Restoratif sebagai pelaksanaan Asas Dominus Litis Jaksa.
Tujuan dari pedoman tersebut adalah agar terciptanya pemulihan, baik itu pemulihan keadilan, pemulihan mental, dan pemulihan kesehatan penyalahguna, sehingga diharapkan mampu menghadirkan kemanfaatan hukum. (BK/Chard)