Pahami dan Samakan Persepsi Toleransi Untuk Hindari Ujaran Kebencian, Bukan Sekadar Kebebasan Berpendapat

Loading

Jakarta, BK – Indonesia adalah negara dengan penuh keragaman baik macam suku, agama, golongan, ras, dan daerah yang tersebar sangat luas. Karena itu, bangsa Indonesia harus terus memahami dan menyamakan persepsi tentang toleransi untuk menghindari berbagai hal yang mengancam persatuan dan kesatuan, terutama intoleransi yang bisa berbuah radikalisme.

“Kita ini masyarakat plural dengan prinsip Bhinneka Tunggal Ika. Artinya kita ini bangsa yang terdiri dari berbagai macam suku, agama, golongan, ras, dan daerah yang tersebar sangat luas. Diantaranya golongan itu, ita bisa bersatu kalau masing-masing itu saling memahami, toleransi, dan saling bisa menghormati,” ujar dosen magister Ilmu Politik FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Dr. Sri Yunanto di Bogor, Kamis (13//1/2022).

Melihat fenomena riuhnya media sosial (medsos) terkait ujaran kebencian, Sri Yunanto menilai, masalah ini timbul karena konsep tentang toleransi, ujaran kebencian, dan lain sebagainya di Indonesia masih belum mempunyai persepsi yang sama.

Misalnya, lanjut dia, soal ujaran kebencian, kelompok tertentu menganggap itu adalah bagian dari kebebasan berpikir, berpendapat, berekspresi. Tapi kelompok lain, ketika sudah menyinggung agama dimana pun mempunyai kebebasan yang terbatas. Apalagi kalau sudah namanya dogma, keyakinan, itu sudah tidak bisa diperdebatkan.
“Ini rawan terhadap konflik, sementara kadang-kdang yang mengatakan kebebasan berpendapat, di sebelah lainnya mengatakan ini sudah menyentuh ranah agama yang tidak bisa diperdebatkan dan ini sesuatu yang sensitif,” jelasnya.

Ia menegaskan, bila itu yang terjadi, maka akhirnya yang menjadi wasit adalah hukum untuk menentukan apakah ini bagian kebebasan berpendapat atau bagian dari ujaran kebencian terhadap suatu agama dan keyakinan.

Mantan staf ahli Menkopolhukam ini melihat, dari sisi historis, persoalan seperti ini sudah ada sejak dulu. Seperti dulu kasus yang menimpa Arswendo Atmowiloto dan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.

“Saya hanya ingin mengatakan, saya tidak anti kebebasan dalam berpikir dan berpendapat tetapi saya ingatkan teman-teman dengan semangat kebebasan berpendapat dan eforia media sosial, harus berhati-hati, bahwa masalah itu tidak bisa dilihat secara sepihak dari perspektif HAM dan kebebasan berpendapat, tapi orang harus memahami, terutama menyangkut agama,” jelasnya.

Dalam konteks ujaran kebencian yang menyangkut agama, lanjut Yunanto, setiap orang akan membaca berbeda dan bereaksi secara berbeda. Karena itu ia mengingatkan hati-hati jangan menafikan kondisi sosial masyarakat Indonesia yang sehingga memiliki pemahaman sesuai agamanya masing-masing. Hal itulah yang membuat masyarakat mempunyai sensitifitas tinggi terhadap persoalan agama dan dogma.
Pun terkait intoleransi, biasanya orang yang melakukan ini membawa visi dan misi ajaran agama tertentu, sementara ia menafikan kelompokk lain. Mereka inilah yang disebut kelompok intoleransi. Untuk itu ia menyarankan agar masyarakat terus memahami dan menyamakan persepsi tentang toleransi agar tidak membuat ujaran kebencian.

“Pertama jangan mudah berkomentar kalau tidak menguasai persoalan. Kita harus toleran dan harus berpikir dengan posisi agama orang lain. Apalagi kemudian melakukan aksi kekerasan atas nama ajaran agama. Kita hidup beragama dalam keberagaman itu ada aturan hukum untuk mengatur keragaman itu. Makanya kalau ada kelompok lain tidak sesuai dengan keyakinan kita, kita harus menghormati, karena menyankut keyakinan pasti ajaran agama apapun pasti tidak sama. Bahkan paham-paham dalam agama tertentu itu tidak sama,” paparnya.

Ia mencontohkan, kalau dalam Islam ada sekian paham penafasiran, begitu juga di Kristen ada banyak denominasi. Artinya, bila merasakan bahwa ada kelompok agama lain melanggar aturan, orang tidak boleh main hakim sendiri.
“Kita serahkan ke penegak hukum, biarkan yang menilai aparat penegak hukum, karena kita bukan aparat penegak hukum,” tegas Yunanto.

Aparat penegak hukum itu berlapois-lapis khan, penyeleidikan, penyidikan, penuntutuan, sampai peutusan pengadilan. Jangan kita sok jago jadi aparat penegak hukum . itu saya belum masuk dalam aturan-aturannya, belum lagi uu ormas.
Ia mengajak seluruh pihak untuk berhati-hati beraktifitas di media sosial. Bila ingin memberikan statemen, harus memahami hukum terkait masalah itu. Kemudian kalau terima pesan dari media sosial, juga harus cerdas memahami karena tidak gampang membedakan antara fakta, realita, dan hoaks (berita bohong) di media sosial.

“Lakukan verifikasi, jangan gampang menyebarkan. Kemudian bagi yang hobi YouTuber, komunikasi lewat platform, harus hati-hati karena Anda bicara disaksikan ribuan bahkan jutaaan orang. Semua hal yang disebar di media sosial itu pengaruhnya sangat luar biasa,” tutur pria yang juga dosen kajian terorisme Universitas Indonesia ini.

Ia menyarankan, agar masyarakat menggunakan media sosial untuk hal-hal yang baik, karena tentu akan berpengaruh baik. Jangan sebaliknya untuk melakukan hal-hal buruk atau menjelekkan orang lain. Ini penting karena muara nanti akan ke ranah hukum.

“Ingat bukti di media sosial sangat mudah diungkap. Tidak perlu saksi, kalau jejak digital sudah ada bisa jadi bukti kuat,” tukas Yunanto.
Lebih lanjut, Yunanto mengatakan, masalah ujaran kebencian yang berbuntut intoleransi itu sangat bahaya. Selain membuat gaduh, intoleransi itu bisa mengancam kerukunan dan harmonisasi bangsa, serta keutuhan NKRI. Pasalnya, intoleransi itu adalah pra kondisi dari radikalisme.

Ia menilai, seseorang yang intoleran dimulai dari ketidakhormatan kepada paham kelompok lain dan ada semacam unsur pemaksaan secara langsung kepada orang lain untuk mengikuti pola pikir dan keyakinannya. Juga mengukur keyakinan orang lain dengan keyakinannya. Itulah yang menjadi sumber-sumber intoleransi yang bisa bergerak menjadi radikalisme. (BK/Man) 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *