Oleh: Lantip Sidik
PERMASALAHAN tentang politik mulai dari pertengahan tahun 2016 hingga saat ini masih panas, banyaknya pro dan kontra terhadap kebijakan yang dibuat oleh pejabat-pejabat dalam negeri mengakibatkan pendukung dan oposisi saling adu argumen di sosial media. Hal tersebut jika berlangsung lama dapat merusak kedamaian dan kerukunan antar saudara sebangsa dan se-tanah air. Akibat dari panasnya perbedaan pemikiran politik tersebut dikhawatirkan bangsa Indonesia hanya akan mementingkan kelompok atau golongannya masing-masing saja.
Awal mula panasnya pemikiran politik dimulai dari demo penolakan Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta oleh ormas-ormas Islam, mulai dari situlah banyak orang tertarik ingin bergabung dengan aksi yang digelar di pusat kota Jakarta. Mereka tertarik ingin bergabung dengan massa tersebut karena mereka berpikir sama tentang penolakan Ahok sebagai Gubernur Jakarta. Semakin banyaknya massa yang bergabung dengan penolakan gubernur Ahok maka semakin kuat pula mereka mereka ingin menggantikan posisi gubernur dengan orang lain sebagai pengganti Ahok.
Kejadian bertambah panas ketika Ahok sebaga gubernur terjerat kasus penistaan agama saat ia berpidato di Kepulauan Seribu, dari ucapan tersebut menyulut amarah umat muslim di seluruh Indonesia. Dari kejadian tersebut pun muncul aksi-aksi bela agama yang dihadiri dari berbagai daerah yang menuntut penjarakan dan turunkan gubernur Jakarta Ahok.
Dari banyaknya massa yang tidak setuju Ahok sebagai gubernur DKI ternyata banyak juga warga yang simpati dengan kedudukan Ahok sebagai gubernur. Hal ini mengakibatkan konflik antar golongan yang pro maupun kontra di sosial media. Puncak dari panasnya dari perbedaan politik ketika menjelang pilpres di tahun 2019, dukungan-dukungan terhadap pasangan calon presiden dari masing-masing pilihan dari kedua golongan, penolakan pun juga membara karena dari kedua golongan tersebut ogah dipimpin oleh presiden yang bukan pilihannya.
Zaman semakin berkembang teknologi pun juga semakin maju. Sebuah teknologi tidak akan mengalami kemunduran karena setiap orang ingin memecahkan permasalahannya dengan solusi yang lebih mudah. Salah satunya adalah media sosial. Dengan media sosial kita dapat menyebarkan berita atau kabar dengan sangat cepat dan mencari berita dengan topik hangat pun mudah dicari lewat media sosial. Namun apa jadinya jika media sosial digunakan untuk menyebarkan berita hoax, adu domba, serta ujaran kebencian? Tentunya akan sangat berbahaya jika pembacanya langsung mempercayai berita yang disebarkan.
Salah satu contoh dampak negatif dari media sosial di negara kita adalah adanya adu argumen hanya karena beda pendapat tentang politik, tidak hanya adu argument saja mereka juga saling mengolok-olok dengan sebutan hewan. Di media sosial, mereka saling menghujat bahkan ada yang menyebarkan hoax hanya demi saling menjatuhkan lawan politiknya.
Memang negara kita menganut sistem demokrasi yang memungkinkan rakyatnya secara bebas mengeskpresikan pandangan politiknya. Tapi sebebas apapun, apakah menghujat dan menyebarkan hoax, dalam konteks demikian bisa dibenarkan? Kondisi polarisasi politik antara Cebong dan Kampret ini menarik perhatian banyak orang tak terkecuali para akademisi kemudian untuk ditulis atau dikaji dari banyak perspektif. Menggunakan istilah-istilah hewan untuk menyebut atau mengolok-olok orang yang berbeda pilihan politiknya sangatlah tidak pantas. Hal ini terindikasi bahwa rakyat Indonesia belum matang dalam berdemokrasi.
Kejadian seperti inilah yang membuat bangsa Indonesia tidak kompak karena mereka mementingkan egonya masing-masing dan kebijakan apapun yang dibuat oleh pemerintah selalu dikritik. Tidak hanya oposisi, pendukung dari rezim pemerintahan pun juga suka mencela pernyataan oposisi dan menganggap omongannya hanya bualan. Panasnya perbedaan pendapat tentang perbedaan pemikiran politik masih terjadi hingga saat ini.
Pemerintah yang berkuasa harus merekrut lawan politiknya sebagai rekan dalam membangun negeri agar tidak ada rasa cemburu dari pihak oposisi karena menjadi seorang pemimpin bukan hanya sekadar mengatur bawahannya saja, tetap juga harus bisa menciptakan rasa kenyamanan rakyat yang dipimpin. Dan rakyat yang sebagai pendukung juga harus menyadari bahwa kita ini adalah saudara sebangsa dan se-tanah air, apalah untungnya saling menjatuhkan. Dari kedua pihak yang disebut sebagai cebong dan kadrun seharusnya mendukung kebijakan pemerintah dan juga jangan menjilat kebijakan pemerintah agar tidak menimbulkan konflik. Untuk menciptakan kerukunan dalam bermasyarakat dimulai dari diri sendiri. (Penulis adalah Mahasiswa UHAMKA Jakarta)