Oleh Annisa Fauziah
INDONESIA darurat Kekerasan Seksual, namun mengapa RUU PKS belum juga disahkan? Hingga hari ini Rancangan Undang-Undang Penghapusan kekerasan Seksual (RUU PKS) belum juga disahkan, padahal RUU ini sudah diusulkan sejak lama oleh Komnas Perempuan. Jika kita berkaca pada banyaknya kasus kekerasan seksual yang relatif meningkat pada setiap tahunnya, bahkan akhir-akhir ini semakin banyak kasus-kasus kekerasan seksual yang terkuak. bila RUU PKS tidak segera disahkan, kita sebagai kaum perempuan menjadi takut bila bepergian. Apalagi dalam beberapa kasus pemerkosaan, perempuan selalu disalahkan karena alasan pakaian.
Bukankah perempuan maupun laki-laki setara? Sebagai perempuan pun, semestinya kita bebas dalam mengekspresikan dirinya, Entah itu pakaiannya tertutup atau tidak, itu seharusnya tidak masalah. mengapa kita sebagai seorang wanita tidak diberi ruang gerak dan kebebasan?.
Nyatanya meskipun seorang perempuan menutup rapat-rapat bagian tubuhnya dari atas sampai bawah, tetap saja kita mendapatkan perlakuan yang sama. Hal ini seringkali terjadi. Lalu, pakaian seperti apalagi yang harus kaum wanita pakai agar tidak mendapatkan pelecehan seksual ataupun kekerasan seksual?
Dan harus seperti apa lagi kah wanita mesti bersikap? Bahkan terkadang untuk keluar rumah saja menjadi semakin takut, dikarenakan banyaknya kejadian yang tak terduga akhir-akhir ini. Semakin banyak pula orang-orang yang tidak berakal yang dengan gampangnya menyalahkan kaum wanita atas pikiran cabul mereka. Dan tidak sedikit pula yang mewajarkan.
Sebagai manusia yang memiliki pola pikir, berpendidikan bukankah kita harus lebih melek lagi dengan berita-berita yang semakin kacau ini? Karena banyak sekali dampak yang didapatkan dari kasus kekerasan seksual, tidak hanya dapat merugikan korban, namun dapat merugikan masa depan serta memberikan dampak Psikologis jangka panjang dan trauma yang sangat besar terhadap korban kekerasan seksual.
Namun, layaknya fenomena gunung es, hanya korban yang melapor saja yang harus terungkap kasusnya, padahal masih banyak korban di luar sana yang tidak berani melapor. oleh karena itu, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) ini dapat menjadi payung hukum untuk menjerat predator seksual, sehingga dapat memberikan perlindungan hukum bagi korban, keluarga korban, hingga saksi kunci, yang sering mendapatkan ancaman bahkan kekerasan untuk bungkam pada kasus kekerasan seksual.
Bahkan untuk speak up atau melapor saja korban pun ragu, karena selalu saja korban yang disalahkan, sehingga berujung damai. Hal seperti ini terjadi karena kurang tegasnya hukum Indonesia dalam menanggapi kasus ini. Banyak korban berjatuhan, tetapi rata-rata kasusnya tidak diproses. Bila sudah seperti ini, harus kemana lagi kita berlindung?
Kini, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) berganti menjadi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) karena sebelumnya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual hanya akan menjadi undang-undang yang berpihak kepada korban karena sejauh ini UU yang sudah ada mengatur kekerasan seksual secara terbatas. pergantian nama RUU ini bermaksud agar penegakan hukum kasus kekerasan seksual menjadi lebih mudah.
Oleh karena itu, sebagai warga negara hukum, kita berharap mendapatkan perlindugan, seperti yang terdapat dalam ketentuan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) agar korban, keluarga korban, dan saksi TPKS terbebas dari Ancaman atau Kekerasan pelaku dan pihak lain serta berulangnya kekerasan dalam pasal 24 ayat (1) huruf c jo. Pasal 33 ayat (1) huruf c jo. Pasal 34 ayat (2) huruf e), dan Tuntutan Pidana atau digugat perdata atas laporannya dan kesaksiannya dalam pasal 24 ayat (1) huruf g jo. Pasal 33 ayat (1) huruf d jo. Pasal 34 ayat (2) huruf g).
Maka dari itu kami berharap dengan banyaknya perkara-perkara yang Viral mengenai Kekerasan Seksual belakangan ini dapat mendorong agar RUU TPKS dapat segera disahkan. Meskipun pada kenyataannya yang selalu terjadi di dalam proses pengesahannya seringkali terdapat hambatan-hambatan, entah itu berupa adanya perbedaan cara berpikir antara anggota DPR yang menyulitkan pengesahan RUU tersebut. (Penulis adalah Mahasiswa Unisma Bekasi)