Jakarta – Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) siap berdiskusi dan memfasilitasi oknum yang tidak percaya radikalisme dan terorisme di Indonesia, berkunjung ke Lapas terorisme. Hal itu untuk menanggapi masih adanya oknum-oknum yang mewacanakan pembubaran BNPT dan Densus 88.
Ironisnya oknum itu justru pejabat publik dan tokoh masyarakat. Mereka menuduh keberadaan Densus 88 dan BNPT sudah tidak relevan lagi dan dinilai hanya menjadi alat pemecah belah rakyat. Mereka juga menilai isu terorisme dan radikalisme sudah menjadi komoditas bisnis dan politik.
“Saya dukung dan akan beri fasilitas mengunjungi Lapas pelaku terorisme, tentunya sesuai aturan maupun SOP, supaya kita dapat sama-sama menyaksikan dan berkomunikasi langsung bahwa ini nyata dan tidak rekayasa,” ujar Direktur Pencegahan BNPT Brigjen Pol Ahmad Nurwakhid di Jakarta, Minggu (10/10/2021).
Nurwakhid menegaskan bahwa pihaknya tidak anti kritik untuk menyerap masukan dari masyarakat. Namun hal itu selayaknya disampaikan dengan cara yang baik dan berdasarkan data-data yang konkrit.
“Kami, (BNPT) tidak anti kritik. Justru kami senang jika ada masukan yang bagus untuk evaluasi dan perbaikan ke depan,” tuturnya.
Nurwakhid mengatakan BNPT maupun Densus 88 Anti Teror merupakan lembaga pemerintah yang diberi amanah UU untuk melakukan penanggulangan radikalisme dan terorisme secara holistik. Penanggulangannya melalui soft approach atau pendekatan lunak di hulu yaitu pencegahan yang dilakukan oleh BNPT dan hard approach atau penegakan hukum di hilir melalui penindakan atau law enforcement oleh Densus 88 AT sesuai UU Nomor 5 tahun 2018.
“Kalau ada yang mengatakan terorisme sudah tidak relevan lagi, atau hanya menjadi ajang politik, itu salah dan tidak mendasar,” tegas Kabagbanops Densus 88 Anti Teror.
Nurwahid menegaskan justru radikalisme dan terorisme yang mengatasnamakan agama akar masalahnya adalah ideologi keagamaan yang dipahami secara distorsif dan menyimpang. Menurutnya, potensi radikalisme tetap harus diwasapadai. Hasil survei tahun 2020 menunjukkan bahwa indeks potensi radikalisme di Indonesia masih berkisar 12,2 persen.
Indikatornya, jelas Nurwahid, ditunjukkan dengan pemikiran dan sikap anti-Pancasila, pro khilafah, ekslusif, intoleran, anti budaya dan kearifan lokal, dan membenci pemerintah dengan menyebarkan hoaks, adu domba dan fitnah yang dapat memecah belah masyarakat, dan membangun ketidak percayaan masyarakat kepada pemimpin atau pemerintahan yang sah.
Namun dari survei itu masih menggembirakan karena lebih dari 87,8 persen masyarakat menolak dengan tegas radikalisme dan terorisme.
“Nah, 87,8 persen masyarakat moderat tersebut sedang dan akan kita vaksinasi ideologi supaya imun dan terjaga dari paparan radikalisme dan terorisme. Sedangkan yang12,2 persen potensial radikalisme kita berikan moderasi berbangsa dan beragama melalui strategi kontra radikalisasi, berupa kontra narasi, kontra ideologi, dan kontra propaganda,” tuturnya.
Untuk itu, Nurwakhid mengajak dan mendorong seluruh elemen bangsa terutama masyarakat moderat untuk aktif membangun narasi-narasi perdamaian, persatuan, toleransi, cinta tanah air dan bangsa untuk membangun harmonisasi bangsa menuju Indonesia yang aman, damai dan maju. Sementara terhadap mereka yang sudah menjadi tersangka, terdakwa, terpidana maupun mantan narapidana tindak pidana terorisme termasuk keluarganya diberikan program deradikalisasi oleh pemerintah.
Alumni Akpol 1989 itu menyebutkan bahwa sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018, sampai saat ini Densus 88 dan BNPT sudah berhasil mencegah atau menggagalkan lebih dari 1350 tersangka terorisme yang akan melakukan aksinya dengan melakukan strategi preventive justice atau preventive strike, yaitu ditangkap atau ditindak sebelum melakukan aksi teror kemudian di proses hukum.
“Intinya, radikalisme dan terorisme masih ada, mengancam dan membahayakan eksistensi Ideologi negara Pancasila maupun integrasi NKRI,” tegasnya. (BK/Man)