Utama  

Waspada Infiltrasi Kelompok Radikal ke Aparatur Negara yang Kerap Tak Disadari

Loading

Jakarta –Penyebaran ideologi radikal dan intoleran tidak pandang bulu. Siapa saja dan dimana saja segenap lapisan masyarakat bisa menjadi korban propaganda anti-Pancasila. Bahkan dewasa ini ditemukan fakta miris banyaknya aparatur negara yang terindikasi terpapar ideologi radikal dan intoleran ini. Padahal aparat negara dalam kedudukannya juga berfungsi sebagai perekat dan pemersatu bangsa.

Kader Intelektual Muhammadiyah, Muhammad Abdullah Darraz turut menanggapi fenomena ini sebagai ‘kecolongan’ sebuah lembaga atau instansi akan masuknya ideologi radikal dan intoleran di lingkungan lembaga atau instansi negara tersebut. Terlebih gerakannya cenderung terselubung sehingga luput dari perhatian sehingga penanganannya terlambat.

“Kelompok radikal ini sebetulnya begitu massif melakukan infiltrasi. Ironisnya ini tidak disadari oleh pimpinan di intansi tersebut sehingga penanganannya cenderung terlambat,” ujarnya di Jakarta, Kamis (7/10/2021).

Darraz membeberkan, mengutip hasil riset yang dilakukan oleh Alvara Research pada tahun 2018 lalu, bahwa sebanyak 19,4% ASN terindikasi radikal dan intoleran. Tidak hanya itu ia juga menilai besar kemungkinannya bahwa kelompok radikal ini juga bukan tidak mungkin telah menginfiltrasi ke dalam tubuh institusi TNI dan Polri.

“Ada indikasi aparat itu diinfiltrasi (kelompok radikal). Semoga ini tidak secara institusional, namun saat ini polanya adalah infiltrasi kepada oknum dengan mereka diajari ngaji dan sebagainya, yang lalu pada akhirnya lama kelamaan mulai diperkenalkan dengan ideologi mereka yang bertentangan dengan Pancasila,” ungkapnya.

Darraz menilai infiltrasi oleh kelompok radikal tersebut cenderung sulit diidentifikasi karena masyarakat menilai aparatur negara merupakan kelompok yang memiliki jiwa nasionalisme paling kuat. Karena itu terpaparnya aparatur negara perlu menjadi perhatian semua pihak.

“Selama ini kita menganggap kalau aparat ini merupakan orang yang paling kuat (jiwa) nasionalismenya. Nah kalau sudah diinfiltarsi ini repot juga. Maka dari itu harus ada kesadaran dari pimpinan Instansi/Lembaga bahwa bahaya ini nyata dan ada,” ucap pria alumni Pondok Pesantren Darul Arqam Garut ini.

Ia berharap, dengan kondisi ini haru ada kesadaran dan kepekaan dari tubuh instansi terkait terhadap bahaya radikalisme terutama yang menyasar aparatur negara. Menurutnya Langkah-langkah yang harus dilakukan para pemimpin instansi untuk mencegah masuknya ideologi radikal dan intoleran kedalam tubuh institusi atau Lembaga negara yang berpotensi masuk dari pengajian-pengajian atau ceramah maupun mentoring oleh ustaz atau tokoh agama yang radikal

“Kuncinya yang pertama adalah menyadari bahwa gerakan ini (radikal dan intoleran) ada. Kedua, sesegera mungkin mendeteksi sumbernya dimana karena saya sendiri meyakini bahwa pendekatan kelompok radikal tersebut menarget orang-perorangan dengan mengajarkan hal-hal yang bertentangan atau polemik,” ungkapnya.

Ketiga, lanjutnya adalah internalisasi nilai-nilai ideologi Pancasila, nilai kebangsaan, nilai kebhinnekaan, serta nilai-nilai positif di negara Indonesia. Darraz mengkhawatirkan kelompok ini juga menyasar instansi yang berada jauh dari jangkauan ibukota, sehingga menurutnya akan sulit terdeteksi jika infiltarsi oleh kelompok radikal itu terjadi.

“Sepenilaian saya, sistem rekrutmen calon aparatur negara sudah sangat ketat karena mereka ini di screening secara ideologi dan tes lainnya. Namun pasca reformasi, infiltrasi kelompok ini makin kuat. Apalagi mereka merasa difasilitasi oleh kemajuan teknologi informasi, Jadi kelompok radikal ini akan melakukan berbagai upaya, cara dan media untuk melakukan infiltrasi,” tuturnya.

Terakhir, mantan Direktur Eksekutif Maarif Institute ini juga menilai perlunya sinergi dan kerjasama seluruh lapisan masyarakat untuk menghalau pola pergerakan kelompok radikal yang kian massif.

“Saya rasa, instansi atau Lembaga perlu bekerjasama dengan unsur masyarajat yang memiliki konsen terkait radikalisme dan visi kebhinekaan, sebagai contoh Muhammadiyah dan NU (Nahdlatul Ulama). Disamping itu juga harus ada sinergi dengan tokoh keagamaan, tokoh masyarakat dan ormas lain di berbagai daerah, karena perkara radikalisme dan intoleransi harus ditangani secara extraordinary,” tandasnya. (BK/Man)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *