JAKARTA – Sekretaris Jenderal Jokowi Centre Imanta Ginting mengungkapkan bahwa diskusi ini membahas bagaimana realisasi pola kemitraan petani sawit dengan program implementasi mandatory biodiesel yang sudah berjalan sejak tahun 2015 sampai dengan saat ini.
Imanta mengemukakan, kekurangan dan kelebihan serta skema kemitraan yang terbaik dalam menyukseskan transisi B30 ke B40. “Kegiatan ini murni untuk menghimpun pemikiran dari para stakeholders terkait dalam program mandatory biodiesel di Indonesia yang berguna untuk kebijakan pengembangan biodiesel sebagai salah satu upaya mewujudkan ketahanan energi nasional,”ujar Imanta, dalam Webinar Nasional II bertajuk “Formula Kemitraan Petani Sawit Rakyat Dalam Rantai Pasok Industri Biodiesel”, Selasa (28/9).
Diakui Imanta, diskusi rutin yang digelar Jokowi Centre adalah dalam upaya untuk memastikan target presiden Jokowi dalam program mandatory biodiesel B30 bisa mensejahterakan sekitar 2,7 juta petani petani sawit terutama petani sawit swadaya di Indonesia.
Diakui Imanta, Pemerintah saat ini tengah mengkaji kenaikan program mandatory biodiesel dari B30 ke B40. Sebagaimana diketahui, program ini menjadi salah satu strategi pemerintah untuk menekan impor solar dan serta bisa menghemat devisa negara. Sesuai dengan data dari Kementerian ESDM bahwa sampai dengan tahun 2020 program biodiesel mampu menghemat devisa negara sebesar Rp. 63,39 triliun serta menjadi pasar baru untuk CPO Indonesia sekitar 8-9 juta ton CPO.
Namun, dibalik keberhasilan yang telah ditorehkan dalam pelaksanaan program biodiesel B30 tersebut pelibatan petani sawit melalui kemitraan antara petani sawit dengan perusahaan yang terlibat dalam industri biodiesel masih sangat minim.
Sementara, Berdasarkan data Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) di 4 Kabupaten di Provinsi Riau seperti Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Siak, Kabupaten Kampar, Kabupaten Rokan Hulu menyingkap fakta kalau pada radius 5 Km dari pabrik kelapa sawit yang menjadi bagian dari produksi biodiesel, nyatanya petani sawit belum memiliki skema kemitraan yang jelas.
Guna memperkuat pengembangan program biodiesel ke tahap selanjutnya, diperlukan langkah konkret pemerintah dalam menentukan arah kebijakan yang mengatur pola kemitraan antara petani dengan perusahaan agar program biodiesel bisa berjalan sesuai dengan visi dari presiden jokowi.
Sekretaris Jenderal Serikat Petani Kelapa Sawit Mansuetus Darto mengatakan, pemerintah sebaiknya jangan terburu-buru mengambil kebijakan menaikan biodiesel B30 ke B40.
“Perlu ada evaluasi dari implementasi B30 saat ini dengan melihat manfaat kepada petani sawit ini sesuai dengan visi presiden, kita perlu melibatkan petani sawit swadaya dalam program ini. Jika dijalankan secara benar dan serius tentu Pak Presiden akan bangga kalau program biodiesel turut disukseskan oleh petani kecil”, kata Mansuetus,
Menurut Mansuetus, kalau selama ini petani swadaya sama sekali tidak menerima manfaat dari program biodiesel karena petani tetap saja menjual TBS ke tengkulak dengan loss income sekitar 30%.
“Hal ini terjadi karena tidak ada kemitraan terutama dengan perusahaan-perusahaan biodiesel. Belum lagi program biodiesel ini sudah menghabiskan uang dana sawit dari BPDPKS sampai tahun 2020 sekitar 57,72 triliun,”tukasnya.
Sementara, Deputi IV Kepala Staf Kepresidenan, Juri Ardiantoro mengatakan bahwa pemanfaatan biodiesel bukan hanya mengantisipasi akan hilangnya energi yang berbasis fosil tetapi juga dalam konteks lingkungan.
“Jangan sampai petani menjadi subordinasi dalam mata rantai biodiesel. Industri seperti ini tidak boleh mengabaikan kepentingan pemerintah secara umum yang bertujuan untuk mensejahterakan masyarakat”, tegas Juri.
Vice Presiden Pertamina Patra Niaga, Budi Hutagaol mengatakan bahwa alokasi FAME sebagai blending component dari solar meningkat setiap tahunnya sejak tahun 2018 (3.2 Juta Kilo Liter) dan di tahun 2021 menjadi 7.815 juta Kilo Liter.
Apabila ditotal, lanjut Hutagaol, jumlah FAME yang digunakan dalam implementasi biodiesel dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2021 berada di angka 32.98 juta Kilo Liter.
Dia mengutarakan, Pengembangan program biodiesel yang menanjak ke B 40 dan seterusnya, praktis menjadi penciri bahwa program ini dijalankan untuk jangka panjanga dalam mewujudkan ketahanan energi nasional.
Koordinator Investasi dan Kerjasama Bioenergi EBTKE Kementerian ESDM, Elis Heviati mengutarakan bahwa pengembangan program mandatori BBN bertujuan untuk meningkatakan kesejahteraan petani yang memiliki 40% dari total lahan perkebunan sawit nasional.
“Dalam grand strategi energi nasional dimana pengembangan biofuel pada tahun 2040 ditargetkan mencapai 15.2 juta Kilo Liter dimana biodiesel sebesar 11.7 juta kilo liter dan pengembangannya tidak terbatas pada pengusaha skala besar, melainkan didorong berbasis ekonomi kerakyatan”, ujar Elis.
Kepala Kajian Ekonomi Lingkungan Alin Halimatussadiah menyatakan, bahwa kebijakan mandatori biodiesel termasuk kebijakan yang progresif. Lanjut dia, target yang terus diperbaharui dengan blending rate dan user groups yang semakin meningkat.
Alin menegaskan jika scenario yang ditetapkan semakin progresif maka semakin cepat dan besar defisit CPO yang terjadi mengingat keterbatasan pada sisi supply. “Dengan asumsi tidak adanya replanting kalau kita melakukan scenario B 50 maka kebutuhan lahan untuk memenuhi defisit tersebut mencapai 70% dari luas lahan yang saat ini ada”, tandas Alin.
Direktur Tanaman Tahunan dan Penyegar, Kementerian Pertanian Heru Tri Widarto mengatakan, lambatnya program peremajaan sawit rakyat (PSR) karena banyak yang berada di dalam kawasan hutan, sehingga koordinasi kami dengan Kemenkoperkonomian maupun KLHK tetap intensif agar persoalan ini dapat diselesaikan.
Heru menambahkan, bahwa yang ikut PSR banyak petani swadaya, sehingga pemerintah tetap merangkul petani plasma dan petani swadaya karena memang proses bisnis sawit harus dengan kemitraan yang kuat. (BK/Ralian)