Oleh Rizky Amilia Susilo
Alumni Institut Bisnis Muhammadiyah Bekasi
MEMBACA adalah aktivitas yang mempunyai segudang manfaat. Selain menambah banyak pengetahuan, kegiatan ini juga dapat meningkatkan kemampuan berpikir analitis untuk menilai secara objektif berbagai fenomena sosial. Semakin banyak buku dibaca maka semakin luas pemikiran seseorang terhadap perbedaan cara pandang. Sayangnya meskipun mempunyai manfaat yang banyak masyarakat Indonesia belum menjadikannya suatu kebiasaan.
Berdasarkan penelitian Program for International Student Assessment (PISA) dari laman Organisation for Economic Co-Operation and Development (OECD) tahun 2015 terhadap 72 negara, Indonesia berada di posisi ke-62 dalam peringkat literasi anak. Adapula penelitian lain yang mengkaji minat membaca masyarakat di 61 negara yaitu Words Most Literate Nations (WMLN) tahun 2016 oleh Central Connecticut State University (CCSU) yang menempatkan Indonesia di posisi ke-60. Dari dua sumber data terpercaya tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa Indonesia berada dalam keadaan darurat literasi.
Penelitian-penelitian tersebut dapat diasumsikan sebagai pemicu turunnya Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) No.23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Upaya penanggulangan pun dilakukan dengan cara membentuk Gerakan Literasi Sekolah (GLS) oleh Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah (Ditjen Dikdasmen). Program ini mulai diterapkan di berbagai sekolah pada tahun 2016 dan berjalan secara masif.
Selain menerapkan program literasi, saat ini tercatat jumlah perpustakaan di Indonesia adalah yang terbanyak kedua di dunia dengan jumlah 164 ribu. Salah satu yang menarik terletak di Bandung yaitu Micro Library Bima yang memiliki konsep ramah lingkungan dengan memanfaatkan 2 ribu wadah bekas es krim. Bangunan yang dirancang SHAU Architect ini telah memenangkan kategori Arsitektur Komunitas dalam public vote dan jury award di Architizer A+ Awards, yaitu penghargaan terbesar bagi karya-karya arsitektur tahunan terbaik dunia. Selain itu, Perpustakaan Nasional RI (Perpusnas) menjadi perpustakaan tertinggi di dunia dengan 126,3 meter yang terdiri dari 24 lantai mengalahkan Perpustakaan Shanghai dan W.E.B Du Bois Amerika Serikat. Dengan berbagai prestasi ini apakah rendahnya literasi di Indonesia sudah teratasi?
Pada Tahun 2020, Perpusnas melakukan kajian Indeks Kegemaran Membaca dengan melibatkan 10.200 responden di 34 Provinsi Indonesia untuk mengukur frekuensi membaca, durasi membaca, dan jumlah buku yang dibaca. Hasilnya Kegemaran membaca masyarakat Indonesia memperoleh poin 55,74 dan termasuk dalam kategori sedang. Angka ini mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya dengan poin 37,32.
Dilansir Kompas.com, Kepala Perpusnas Syarif Bando menilai bahwa hasil Indeks Kegemaran Membaca merupakan sinyal untuk segera memperkuat peran pemerintah, penulis buku, penerbit, penerjemah, regulasi distribusi buku bacaan, hingga peningkatan anggaran belanja buku. Hal ini karena pihak pengkaji hampir tidak menemukan buku yang tersebar di masyarakat. Padahal literasi masyarakat seharusnya menjadi masalah yang ditangani dengan serius karena berkaitan dengan sumber daya manusia. Masyarakat yang terliterasi dengan baik akan menciptakan generasi yang unggul dan generasi yang unggul akan menjadikan bangsa ini lebih maju.***