Ketidakadilan Terhadap Masyarakat Adat Terus Terjadi

Loading

Jakarta – WAKIL Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Adat Kunthi Tridewiyanti menyatakan Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Hukum Adat sangat penting untuk segera disahkan menjadi undang-undang. Sebab, ketidakadilan terhadap masyarakat adat terus terjadi dalam bentuk konflik horisontal dan vertikal.

“Kehadiran undang-undang yang melindungi hak-hak masyarakat adat sangat penting, karena ketidakadilan terhadap masyarakat adat terus terjadi dalam bentuk konflik horisontal dan vertikal,” kata Kunthi saat menjadi narasumber dalam diskusi secara daring bertema Masyarakat Adat Indonesia belum Merdeka yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (15/9/2021).

Dalam diskusi yang dibuka oleh Wakil Ketua MPR RI Lesatari Moerdijat, Kunthi juga mengungkapkan, kehadiran undang-undang masyarakat hukum adat diharapkan dapat menjadi payung hukum yang berkeadilan dan bukan justru mengukuhkan diskriminasi.

Diskusi yang dimoderatori Staf Khusus Wakil Ketua MPR RI Luthfi A Mutty menghadirkan sejumlah narasumber lainnya, yakni Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Willy Aditya, Tenaga Ahli Wakil Ketua MPR RI Arimbi Heroepoetri, dan Deputi II Kantor Staf Presiden Abetnego Tarigan. Sementara itu, sebagai penanggap adalah Sekjen Majelis Adat Kerajaan Nusantara/Pengageng Kesultanan Sumenep RA Yani WSS Kuswodidjoyo, Deputi Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Erasmus Cahyadi, dan Pakar Hukum Tata Negara Atang Irawan.

Wakil Ketua Baleg DPR RI Willy Aditya mengungkapkan, hambatan yang terjadi dalam proses pembahasan RUU Masyarakat Adat saat ini diduga disebabkan adanya informasi yang disampaikan kepada presiden bahwa undang-undang masyarakat adat bertentangan dengan UU Cipta Kerja. Dinamika politik dalam menghadirkan undang-undang masyarakat adat, menurutnya, memang tidak semudah kita melontarkan protes di jalan.

Sementara itu, jurnalis senior Saur Hutabarat berpendapat, ada dua hal yang menyebabkan RUU Masyarakat Adat tidak kunjung dibahas. Hal pertama, karena tiga surat yang disampaikan Baleg untuk meminta pimpinan DPR menggelar sidang paripurna mengesahkan RUU Masyarakat Hukum Adat sebagai usulan DPR tidak pernah dijawab oleh pimpinan DPR.

Hal kedua, tambahnya, karena Presiden tidak memberi arahan yang jelas terkait pembahasan RUU Masyarakat Adat.

Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat saat membuka diskusi mengatakan, mewujudkan undang-undang perlindungan hak masyarakat adat adalah pengakuan secara menyeluruh terhadap masyarakat adat sebagai bagian utuh dari kehidupan berbangsa. Oleh karena itu, semua pihak, termasuk para pimpinan di parlemen, diharapkan dapat mewujudkan undang-undang tersebut sebagai upaya negara melindungi setiap warga negara Indonesia.

“RUU Masyarakat Adat sejak September 2020 sudah dibahas di Baleg dan disepakati untuk dilanjutkan ke Paripurna sebagai RUU usulan dari DPR. Tetapi hingga kini para pimpinan DPR belum juga merealisasikannya,” kata Rerie, sapaan akrab Lestari.

Padahal, lanjut Rerie, konstitusi UUD 1945 secara jelas memuat bahwa salah satu tujuan bernegara adalah melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Sebab, hingga kini masyarakat adat masih mengalami kesulitan dan keterbatasan dalam menjaga, mengelola, dan mendapatkan wilayah adat mereka. (BK/Zas)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *