Sisiolog UI : Bersyukur Bangsa Indonesia Hidup Dalam Harmoni, Bukan Konflik

Sosiolog dari Universitas Indonesia (UI), Dr. Devie Rahmawati,S.Sos., M.Hum.

Loading

Jakarta – Indonesia merupakan negara yang kaya akan keragaman, salah satunya agama. Saat ini ada enam agama yang diakui di Indonesia, yakni Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, dan Kong Hu Cu. Karena itu semua warga negara dituntut untuk mampu saling bertoleransi satu sama lain, mengingat toleransi dapat mewujudkan kehidupan yang rukun dan damai.

Sosiolog dari Universitas Indonesia (UI), Dr. Devie Rahmawati,S.Sos., M.Hum mengutarakan bahwa ada resep dalam merawat dan menumbuhkan sikap toleransi sebagai wujud menjaga persatuan di tengah pluralisme dan keberagaman yang dimiliki bangsa ini.

“Sebenarnya sederhana, pertama, kita ini harus lebih banyak bersyukur. Karena d itengah beragam suku, agama, ras, bahasa, budaya yang dimiliki bangsa ini, kita ini masih dalam kondisi yang sangat harmoni,” ungkap Dr. Devie Rahmawati di Jakarta, Jumat (10/9/2021).

Menurutnya, masyarakat dapat belajar dari kondisi negara lain di Timur Tengah yang memiliki kesamaan sejarah, juga bahasa, namun terus berada dalam pusaran konflik berkepanjangan di kawasan.

“Yang kedua adalah memang untuk bisa memahami bagaimana hidup dalam perbedaan, kita memang harus membiasakan diri untuk hidup bersama dengan orang-orang yang berbeda,” ujarnya.

Ia mengungkapkan, bahwa sejak tahun 2020 lalu, seluruh negara di dunia dilanda pandemi Covid-19 yang memaksa masyarakat untuk tidak berkegiatan di luar. Mengingat masifnya penyebaran virus tersebut sehingga Devie pun menilai masyarakat bak hidup di dua alam yaitu online dan offline.

Devie menilai, kecanggihan teknologi informasi dengan segala tools-nya, telah memanjakan penggunanya untuk memilih hidup di ruang-ruang yang mereka sukai saja. Padahal itu justru menjadi homogen. Hal ini membuat masyarakat menjadi sensitif dan sukar menerima perbedaan, karena larut dalam pergaulan yang homogen di ruang digital.

“Ketiga adalah belajar terus untuk mengenal dan saling menerima perbedaan itu. Karena ketika sudah bertemu dengan orang yang berbeda, tetapi tidak berusaha memahami orang yang berbeda tersebut, tentunya keharmonisan sulit tercapai,” tuturnya.

Peraih gelar Doktoral dari Universitas Padjadjaran dan Swansea University Inggris ini menyampaikan, bahwa untuk memahami perbedaan di atas tadi tidak cukup hanya melalui teori semata. Namun perlu dipraktikkan salah satunya dengan membiasakan diri bertemu, berinteraksi dan berada dalam lingkungan dengan orang-orang yang berbeda-beda, baik dari segi agama, suku, ras, pekerjaan dan sebagainya. Sehingga ia akan memiliki pengalaman untuk mengenali dan memahami indahnya perbedaan.

“Jadi tahapannya ialah 4P, agar masyarakat bisa toleran dengan perbedaan. Pertama nggak cukup hanya lewat pengetahuan, tapi juga harus punya pengalaman sehingga kemudian punya pemahaman. Sehingga ujungnya adalah ‘P’ yang terakhir, dimana anda memiliki penerimaan terhadap perbedaan yang ada,” tutur Devie.

Terkait praktik intoleransi yang kian hari menjamur di tengah masyarakat, Devie berpendapat motif dan justfikasi terkait munculnya praktik intoleransi sendiri. Hal itu akibat sifat manusia yang cenderung mencari kenyamanan yang didapatkan ketika berada di tengah lingkungan dan masyarakat yang memiliki ‘persamaan’.

“Manusia itu pada dasarnya akan mencari kenyamanan. Memang akan menjadi lebih “nyaman” kalau kemudian kita hanya berbicara, bersama, berdekatan dengan orang yang menurut kita sama. Tapi hal itu tidak akan membangun peradaban diantara sesama manusia, karena Tuhan-lah yang menciptakan adanya perbedaan itu,” kata Ketua Program Studi (Prodi) Vokasi Komunikasi UI ini.

Ia menambahkan, kenyamanan tersebut bukanlah berarti keamanan untuk peradaban. Pasalnya hal tersebut cenderung membuat seseorang lari dari kemanusiaan dan menolak rahmat yang Tuhan berikan melalui penciptaan manusia yang berbeda-beda dari fisik, wilayah, kemampuan dan lainnya.

Untuk itulah, Devie pun menyarankan langkah strategis yang bisa dilakukan oleh para tokoh masyarakat dan pemuka agama agar bisa bersama-sama mengikis intoleransi di negeri ini demi mewujudkan Indonesia yang harmoni.

“Para tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh pemuda harus menjadi teladan. Apa sih maksudnya teladan di sini? Mempraktekkan lelaku toleransi, agar masyarakat dapat langsung menirunya, dan pelan – pelan merasakan manfaat dari damainya perbedaan,” ucapnya.

Terakhir, Devie pun berpesan kepada seluruh masyarakat kunci dari kemajuan bangsa ialah, kemampuan berdamai dengan realitas sosial, bahwa manusia dianugrahi surga perbedaan, yang akan menjadi kunci memimpin peradaban dunia.

“Tolerasi secara sederhana ialah kita berupaya memperlakukan orang lain sebagaimana kita ingin diperlakukan,oleh orang lain,” tutup Devie. (BK/Man)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *