Webinar PP GMKI, Diskriminasi Beragama Masih Pekerjaan Rumah Pemerintah

Sekjen PNPS GMKI Sahat Sinaga. (Foto: Ralian)

Loading

JAKARTA – Persoalan kebebasan beragama masih menjadi pekerjaan rumah (PR) bagi Pemerintah yang harus ditangani dengan baik. Pasalnya, sejumlah kekerasan atas nama agama masih menjadi persoalan tersendiri yang masih terjadi di tengah-tengah masyarakat.

Sekretaris Jenderal PNPS GMKI Sahat HMT Sinaga mengatakan, bila dilihat dari Konstitusi Undang-Undang Dasar 1945 bahwa Indonesia adalah negara hukum. Namun, sangat disayangkan dalam pelaksanaan dilapangan masih terjadi diskriminasi atau penanganani masalah kekerasan atas nama agama masih sering terjadi.

“Berbagai regulasi sudah mengatur hal itu. Namun, implementasi secara hukum kadang penanganannya tidak berjalan maksimal, “ujar Sahat dalam diskusis Webinar Pengurus Pusat Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (PP GMKI) bertajuk “Perilaku Diskrrimansi Terhadap Umat Kristen”, Selasa (7/9).

Menurut Sahat, Konstitusi sudah mengatur hak untuk hidup dan menjalankan ibadah. Namun, sayangnya sebagai negara hukum dalam pelaksanaannya masih jauh dari yang diharapkan. “Mestinya sebagai negara hukum patuh akan hukum. Tapi sayangnya, hukum bisa diabaikan oleh karena tekanan massa,”tambah Dosen Universitas Kristen Indonesia (UKI) itu.

Dalam diskusi yang sama, Direktur Agama Kristen Jannus Panggaribuan mengatakan, intoleransi masih menjadi persoalan yang hadapi Pemerintah.

“Menag (Menteri Agama-red) mengedepankan moderasi beragama, dimana cara pandang hidup beragama dengan harmoni dan toleransi yang akan terus dikedepankan,”ujar Jannus.

Jannus mengakui, Papua adalah miniatur Indonesia. Pasalnya, di Papua semua masyarakat baik berbeda agama dan suku bisa hidup berdampingan. Jannus berharap di daerah lain bisa mencontoh kehidupan beragama yang sangat toleran dan menghargai perbedaan.

Sementara itu, Sekretaris Eksekutif Diakonia Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) Hendri Lokra menuturkan, persoalan diskriminasi bukan hanya terjadi pada Kristen saja, namun terjadi pada umat muslim.

“Bahkan berdasarkan survei Setara Institute menagatakan bahwa kekerasan atas nama agama lebih besar dialami oleh kalangan Ahmadiyah dan Siyah. Jadi kekerasan yang terjadi terhadap umat beragama masih menjadi persoalan yang perlu diselesaikan dengan baik,”terang Hendri.

Hendri mengemukakan, advokasi terhadap kekerasan yang dialami umat Kristen kerap dilakukan PGI. “Kasus pelarangan Natal di Damasraya di Sumatera Barat ketika mau diangkat menjadi isu nasional justru masyarakat Kristen di sana yang meminta jangan dijadikan isu nasional karena menyangkut keamanan masyarakat Kristen,”tukas Hendri.

Hal senada, Ketua BPD GBI Sumatera Barat Hendri Dunan Sirait mengatakan, sulitnya untuk mendapat perijinan beribadah di Sumatera Barat.

“Bukan hanya perijinan, bahkan di diberbagai daerah di Sumatera Barat para siswa non muslim dipaksa untuk memakai jilbab,”ucap Hendri.

Sementara itu, Rohaniawan GMIT Kupang Jahja A Millku mengatakan ,teologi awal Kekristenan adalah sebanyak 24 pasal dari 27 pasal adalah persfektif diskriminasi. Tidak heran Kekristenan mula-mula terjadi penganiayaan atau pun diskriminasi.

“Allah yang tidak diskriminasi jangan sampai gereja melakukan diskriminasi. Seharusnya gereja juga harus bersuara ketika terjadi diskriminasi. Bukan hanya atas kepentingan dirinya,”ujar Jahja. (BK/Ralian)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *