Kita Harus Hati-hati

Loading

Oleh Djahar Muzakir

Wartawan Senior tinggal di Depok

Kamis malam (19/8-2021), dipenghujung sambutannya pada acara “Haul Syuhada Kemerdekaan RI” yang disiarkan secara online, Ketua Umum PB NU, KH. Said Aqil Siroj mengatakan, keberhasilan Taliban menguasai Afganistan, “Pasti akan ada dampaknya pada keadaan dalam negeri kita, yaitu orang-orang radikal mendapatkan angin, termotivasi. Nanti mereka mengatakan, ‘tuh, Allah telah menolong, memberikan kemenangan pada gerakan taliban. Kita pun harus terus berjuang, Allah akan berikan pertolongan kepada kita.’ Pasti akan terjadi seperti itu. Pasti ini.”

Ini sinyal yang sangat keras dari Aqil Siroj sebagai Ketua Umum PB NU. Ini maklumat Ketum PB NU yang menegaskan garis sikap NU.
Kita tidak tahu apakah sikap NU ini merupakan reaksi atas sikap para tokoh dan politisi yang cenderung lunak—bahkan permisif—terhadap taliban.

Beberapa hari sebelumnya, mantan Wapres Jusuf Kalla mengatakan keyakinannya bahwa taliban yang sekarang menguasai Afganistan akan lebih moderat. Keyakinan ini didasarkan pada keyakinan lain bahwa taliban telah mempelajari Islam yang terbuka dari banyak negara-negara Islam di dunia, termasuk di Indonesia. Pernyataan JK ini disiarkan berbagai media massa (tapi entah kenapa, pada Republika.com, ketika di-klik Jumat (20/8), berita tersebut telah dihapus). Semua media massa mengutip JK mengucapkan kata “moderat”, kecuali CNN Indonesia yang menyebutkan JK mengatakan “terbuka”. Kita tahu, “moderat’ tidaklah sama dengan “terbuka”—dan ini mengisyaratkan cara pandang dan kebijakan redaksional CNN Indonesia. Pernyataan JK ini juga merupakan sinyal dari seorang tokoh nasional sekaligus ketua umum pengurus pusat organisasi besar yang memiliki cabang di semua provinsi/kabupaten/kota di seluruh Indonesia, yaitu Dewan Mesjid Indonesia (DMI).

Saya tidak bermaksud membenturkan sikap kedua tokoh nasional ini. Dalam demokrasi, perbedaan pandangan adalah sah dan dijamin undang-undang. Saya mempertemukan kedua pandangan untuk menangkap isyarat implikasi dari dua pernyataan tersebut.

Baik JK maupun Aqil Siroj sama-sama menyatakan wait and see. Namun dasar sikap wait and see keduanya berbeda. Aqil Siroj telah mengambil sikap resisten terhadap perkembangan di Afganistan. Mungkin saja taliban Afganistan sekarang bersikap moderat, namun Aqil Siroj akan tetap waspada serta bersikap opensif terhadap perkembangan paham taliban di Indonesia. Butuh penjelasan yang akurat, mendetail, mendalam, dan tentu uraian kepentingan nasional untuk meyakinkan Aqil Siroj, kalau pun taliban Afganistan yang berkuasa sekarang menunjukkan sikap-sikap dan pandangan-pandangan yang moderat. Karena, Aqil Siroj paham betul rawi taliban dan situasi Asia Tengah. Sementara JK bersikap mengambil jalan tengah. Artinya, JK masih membuka ruang bagi diterimanya kelompok taliban, asal mereka menunjukkan sikap moderat. JK juga punya pengalaman yang cukup dalam berinteraksi dan berdialog dengan mereka. Sikap JK ini tentu disambut baik oleh para pendukung taliban di Indonesia.

Kita semua juga tentu wait and see. Namun, kita harus menerima, perbedaan pandangan kedua tokoh yang memiliki jutaan pendukung tersebut akan menguatkan polarisasi pandangan pro dan kontra taliban yang berkembang di masyarakat. Kedua pihak kini memiliki backing baru untuk sikap masing-masing. Sementara sikap pemerintah Indonesia tetap berharap Afganistan menyelesaikan persoalan dalam negerinya melalui jalan “Afghan-Owned, Afghan-led”—usulan yang sudah disampaikan berulang-ulang dan selalu dianggap sepi.

Ini situasi yang mengkhawatirkan, apalagi sebentar lagi, 2024, kita akan menyelenggarakan pemilu legislatif dan pilpres. Akan muncul para oportunis memanfaatkan pandangan kedua tokoh dan situasi di Afganistan dengan melokalkan konteks kemenangan taliban dan menyulapnya menjadi bahan bakar kampanye politik, atau bahkan mengeraskan dukungan di satu sisi dan penentangan di sisi lain terhadap pemerintah yang berkuasa. “Bahan bakar”-nya melimpah. Kalau taliban mampu membangun pemerintahan yang mencirikan sikap moderat, ia akan menumbuhkan semangat ketalibanan, dan ini seksi untuk kampanye politik. Sebaliknya kalau gagal, ‘tembakan’ bisa diarahkan ke pihak-pihak asing—terutama China—yang berkontribusi pada kemenangan taliban, yang kemudian dianggap justru mengacaukan. Ini juga bahan bakar kampanye yang seksi setelah dinaturalisasi dalam konteks realitas sosial Indonesia. Dan, mana pun yang terjadi, mereka dan “bahan bakar” itu akan berhadapan dengan NU.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *