JAKARTA – Ketua MPR RI Bambang Soesatyo menuturkan saat ini Badan Pengkajian MPR RI bekerjasama dengan Komisi Kajian Ketatanegaraan MPR RI serta melibatkan pakar/akademisi dari berbagai disiplin ilmu dan perguruan tinggi, Lembaga Negara dan Kementerian Negara, sedang menyelesaikan kajian Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN), sebagaimana rekomendasi MPR RI periode 2009-2014 dan 2014-2019. Diharapkan kajian PPHN berikut naskah akademiknya akan selesai awal tahun 2022.
“Badan Pengkajian MPR RI yang terdiri dari para anggota DPR RI lintas fraksi dan kelompok DPD bersama sejumlah pihak terkait terus menyusun hasil kajian PPHN dan naskah akademiknya. Jadi, keliru jika ada yang mengatakan PPHN tidak pernah dibahas di Parlemen,” ujar Bamsoet di Jakarta, Jumat (20/8/21).
Mantan Ketua Komisi III DPR RI dan Ketua DPR RI ke-20 ini menjelaskan pentingnya menghadirkan PPHN sebagai bintang arah pembangunan nasional itu, tidak muncul begitu saja. Tetapi, sudah menjadi rekomendasi MPR RI periode 2009-2014 dan MPR RI periode 2014-2019. Rekomendasi mengusulkan amandemen terbatas UUD NRI 1945 agar MPR memiliki kewenangan menetapkan pedoman pembangunan nasional ‘model GBHN’, yang disebut PPHN.
“MPR RI periode saat ini hanya melaksanakan rekomendasi dari MPR RI periode sebelumnya. Perlunya kehadiran PPHN ini juga telah mendapat dukungan dari Forum Rektor Indonesia, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Pengurus Pusat Muhammadiyah, hingga Majelis Tinggi Agama Konghucu (MATAKIN), serta sejumlah kampus di Indonesia,” kata Bamsoet.
Anggota Dewan Pakar KAHMI ini memaparkan bentuk hukum yang ideal bagi PPHN adalah melalui ketetapan MPR. Bukan melalui undang-undang yang masih dapat diajukan judicial review melalui Mahkamah Konstitusi. Juga bukan diatur langsung dalam konstitusi. Karena PPHN adalah produk kebijakan yang berlaku periodik, dan disusun berdasarkan dinamika kehidupan masyarakat, serta bersifat direktif, maka materi PPHN tidak mungkin dirumuskan dalam satu pasal atau satu ayat saja dalam konstitusi.
“Pemilihan Ketetapan MPR sebagai bentuk hukum yang ideal bagi PPHN, mempunyai konsekuensi perlunya perubahan dalam konstitusi atau amandemen terbatas UUD NRI 1945. Sekurang-kurangnya berkaitan dengan dua pasal dalam UUD NRI 1945. Antara lain penambahan 1 ayat pada pasal 3 yang memberi kewenangan kepada MPR untuk mengubah dan menetapkan PPHN, serta penambahan ayat pada pasal 23 yang mengatur kewenangan DPR untuk menolak RUU APBN yang diajukan oleh presiden apabila tidak sesuai dengan PPHN,” urai Bamsoet.
Wakil Ketua Umum Partai Golkar ini menambahkan setelah kajian PPHN selesai, pimpinan MPR RI akan menjalin komunikasi politik dengan para pimpinan partai politik, kelompok DPD dan para stake holder lainnya. Tujuannya, untuk membangun kesepahaman kebangsaan tentang pentingnya Indonesia memiliki PPHN sebagai bintang penunjuk arah pembangunan bangsa dalam jangka panjang.
“Apabila semua pimpinan partai politik sudah sepaham serta sepakat dan menugaskan anggotanya untuk mengajukan dukungan tanda tangan sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR yang terdiri dari DPR dan DPD, barulah pimpinan MPR RI akan mengurus teknis administrasi pengajuan usul amandemen UUD NRI Tahun 1945 sesuai pasal 37 UUD NRI 1945, yang hanya fokus pada penambahan dua pasal. Sehingga, amandemen terbatas tidak akan mengarah kepada hal lain diluar PPHN,” jelas Bamsoet.
Kepala Badan Bela Negara FKPPI ini menegaskan, proses amandemen UUD NRI 1945 sudah diatur dalam ketentuan Pasal 37 ayat 1-3 UUD NRI 1945. Ayat 1 menjelaskan, bahwa usul perubahan pasal-pasal UUD dapat diagendakan dalam sidang MPR apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR, yakni sekitar 237 dari 711 jumlah anggota MPR.
“Di ayat 2 Pasal 37 UUD NRI 1945 dijelaskan pula bahwa setiap usul perubahan pasal-pasal UUD diajukan secara tertulis dan ditujukan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya. Disetujui tidaknya amandemen terbatas UUD NRI 1945 untuk menghadirkan PPHN sangat tergantung dinamika politik yang berkembang serta keputusan partai politik dan kelompok DPD. Perjalanan masih panjang. Jadi, tidak usah marah-marah apalagi sampai kebakaran jenggot. Karena MPR saat ini hanya melaksanakan tugas konstitusional yang menjadi rekomendasi MPR periode sebekumnya,” pungkas Bamsoet. (BK/Ghozali)