Indonesia Merdeka, Apakah Dengan Pendidikannya Juga

Oleh: Roce Marsaulina. M.Pd, Dosen STT Moria

Tanpa terasa tahun 2021 ini tepatnya di tanggal 17 Agustus, Negara kita Indonesia akan merayakan hari jadinya yang ke-76 tahun, dari dari usianya dan pengalamanya Negara Indonesia sudah cukup matang. Kematangan seseorang dapat diukur dari bagaimana dia dapat menyelesaikan persoalan yang dia hadapi begitu juga dengan sebuah negara dapat dikatakan matang jika dapat menyelesaikan masalahnya. Masalah yang sampai saat belum terselesaikan adalah masalah kemiskinan salah satu penyebabnya adalah sebagian besar rakyat Indonesia masih memiliki tingkat pendidikan rendah.

Begitu pula dengan sejarah perkembangan pendidikan di Indonesia dari masa klasik hingga masa sekarang yang terus selalu berkembang. Menjadi pertanyaannya, memasuki tahun yang 76 apakah pendidikan kita sudah benar-benar merdeka? Sistem pendidikan memiliki sebuah komponen-komponen utama yang saling terkait untuk membangun pendidikan agar mencapai tujuan. PH Coombs (1968) menyebutkan bahwa terdapat 12 komponen pendidikan, yaitu:1. Tujuan dan prioritas 2. Peserta didik 3. Manajemen 4. Struktur dan jadwal waktu 5. Isi atau materi 6. Pelaksana (Pengajar) 7. Alat dan sumber belajar 8. Fasilitas 9. Teknologi 10. Pengawasan mutu 11. Penelitian 12. Biaya pendidikan. Dalam proses pendidikan 12 komponen ini harus terpenuhi dan menjadi prioitas. Jika ada salah satu yang tidak dapat terpenuhi maka akan menghambat proses pendidikan karena mempengaruhi komponen yang lain. Contohnya saja fasilitas pendidikan. Ketika komponen ini tidak dapat terpenuhi bisa dipastikan pelaksanaan pendidikan akan terpengaru sehingga tujuan pendidikan tidak tercapai secara maksimal.

Jika kita kilas balik pendidikan di Indonesia dari masa awal kemerdekaan, pemerintah Indonesia berupaya mencari bentuk dan ciri khas pendidikan nasional. Sejak masa orde lama, orde baru, sampai dengan pasca reformasi saat ini pendidikan Indonesia masih berupaya menyelenggarakan sistem pendidikan terbaik bagi bangsa ini. Sebelum masuknya pengaruh Hindu-Budha, kebudayaan Indonesia asli pada kira-kira 1500 SM disebut kebudayaan neolitis, masyarakat saat itu memiliki sifat gotong-royong, akrab, dan statis, karena di dalamnya belum terdapat perbedaan-perbedaan kelas. Pada masa itu pendidikan dalam lingkungan keluarga sudah mencukupi kebutuhan, karena masyarakat masih serba bersahaja. Seiring masuknya pengaruh Hindu-Budha, Islam Sampai dengan masa penjajahan VOC di bumi nusantara, pola berubah. Apalagi memasuki awal abad ke-20, pada masa itu pendidikan mulai memiliki tujuan lain, orientasi pendidikan saat itu akhirnya hanya sekedar mendapatkan status pegawai pemerintah (ambtenaar). Sampai dengan masa penjajahan Jepang, tujuan pendidikan tidak juga memprioritaskan pada pencerdasan masyarakat pribumi.

Beberapa ahli pemerhati pendidikan kelas dunia seperti Pestalozzi, Montessori, bahkan tokoh pendidikan tingkat nasional seperti Ki Hadjar Dewantara dan K.H. Ahmad Dahlan yang telah membangun teori pendidikan yang progresif transformasional, di mana anak dipandang sejak lahir sudah memiliki potensi, talenta yang diletakkan sebagai kodrat alam atau oleh Tuhan bagi umat beragama. Rumusan tentang pendidikan, lebih jauh termuat dalam UU. No. 20 Tahun 2003, bahwa pendidikan Indonesia bertujuan agar masyarakat Indonesia mempunyai pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Artinya, arah dari proses pendidikan nasional mencakup berbagai aspek kehidupan diri manusia dan masyarakat untuk bangkit dan bertahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dijelaskan pula dalam UU No. 20 Tahun 2003 pasal 1, butir 1, bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Apabila dicermati, hal tersebut menegaskan bahwa arah dan tujuan pendidikan nasional adalah untuk membentuk manusia yang beriman dan bertaqwa, berbudi pekerti luhur, sehat jasmani rohani, cakap, berilmu, dan kreatif, mengembangkan kemandirian serta menjadi warga negara yang baik. Dalam hal tersebut peserta didik harus didorong untuk aktif mengembangkan potensinya. Dari hal tersebut peran Negara begitu sangat krusial karena untuk maju atau tidaknya Negara dilihat dari kualitas pendidikannya.

Belum lama ini Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Nadiem Anwar Makarim meluncurkan program “Merdeka Belajar.” Dalam paparannya, Mendikbud mengatakan Program Sekolah Penggerak merupakan katalis untuk mewujudkan visi reformasi pendidikan Indonesia yang berfokus pada pengembangan hasil belajar siswa secara holistik melalui enam Profil Pelajar Pancasila. “Program ini dirancang sebagai upaya untuk mewujudkan Indonesia maju yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian melalui terciptanya Pelajar Pancasila yang beriman, bertakwa kepada Tuhan YME, dan berakhlak mulia, mandiri, bernalar kritis, kreatif, bergotong royong, dan berkebinekaan global,” ujar Mendikbud. (Jakarta, 1 Februari 2021, laman kemdikbud.go.id).

Bila ditinjau upaya yang dirancang oleh Mendikbud haruslah diapresiasi. Namun langkah upaya ini apakah mampu diterima oleh setiap kalangan? Kita harus melihat bahwa tenaga pendidikan dan fasilitas pendidikan yang masih terfokus di pusat pemerintahan dan sekitarnya menjadi kendala yang harus dibenahi. Pendidikan di Indonesia dari yang semula hanya diperuntukkan untuk kalangan agamawan dan bangsawan memang tidak lagi ada, namun gambaran itu masih ada dengan gaya yang lebih modern yaitu dari fasilitas pendidikan yang tidak semua merata antara sekolah yang diisi oleh keluarga berada dengan yang menengah atau kurang mampu. Banyaknya sekolah-sekolah plus yang bermunculan, jika diamatai, sejak tingkat taman kanak-kanak sampai sekolah menengah atas, bahkan perguruan tinggi hanya dapat menerima anak-anak dari golongan keluarga kaya saja. Dengan label terselubung kurikulum internasional serta mempekerjakan guru-guru ekspatriat serta menjanjikan kesinambungannya dengan pendidikan tinggi di luar negeri, sekolah tersebut hanya bisa dimasuki oleh anak-anak dari kalangan atas saja. Pendidikan yang merata untuk semua kalangan, sejatinya belum benar-benar terjadi. Apa lagi pada masa pandemi Covid 19 ini. Hal itu dilihat dari kemampuan tenaga pengajar dan siswa yang tidak semua merata. Untuk yang dilingkungan perkotaan mungkin mudah dan terbiasa dengan akses internet namun tidak dengan yang di daerah. Hal tersebut merupakan PR untuk kita semua, yang harus dibenahi agar “Merdeka” belajar benar-benar terjadi.

Dalam praktik pendidikan, John Dewey menekankan konsep sosial pendidikan yang merupakan suatu aspek yang tidak boleh kita lepaskan yaitu melihat, berpikir, dan melakukan sebagai satu kesatuan yang mengalir dari pengalaman yang berkesinambungan. Antara berpikir (thinking), dan melakukan (doing) tidak dapat dipisahkan. Kita mungkin sedang berpikir untuk menerapkan merdeka belajar namun apakah kita sudah siap untuk melakukannya? Lubang-lubang ketidak merataan fasilitas pendidikan dan tingginya biaya pendidikan haruslah dibenahi terlebih dahulu agar rumusan tujuan pendidikan tersebut dapat memberikan semangat serta motivasi bagi setiap komponen manusiawi yang terkait, agar usaha untuk mencapai cita-cita yang ideal dari pendidikan tersebut dapat tercapai.

Kita perlu mengingat kembali tokoh pendidikan nasional Indonesia, Ki Hadjar Dewantara yang telah lama menggagas tentang pendidikan nasional, yang mestinya sesuai dengan budaya bangsanya dan bertujuan untuk mencerdaskan masyarakatnya. Buah pendidikan tentang matangnya jiwa, yang akan dapat mewujudkan hidup dan penghidupan yang tertib dan suci dan bermanfaat bagi orang lain haruslah dapat dirasakan oleh seluruh rakyatnya. Kepentingan dan kebutuhan anak Indonesia haruslah sungguh-sungguh diperhatikan, jangan sampai menjadikan anak Indonesia sebagai obyek semata-mata. Penulis memandang revolusi pendidikan itu perlu, namun harus berdasar pada habitus seseorang yaitu masyarakat setempat. Sehingga anak-anak mampu menghargai nilai-nilai moral dan budaya bangsanya sendiri, bukan mendewakan atau bangga dengan budaya bangsa lain, sehingga mereka menirunya dan melupakan adat budaya bangsanya sendiri. Kita harus mulai ingat kembali akan makna dari “Tut Wuri Handayani” yang berasal dari bahasa Jawa, “Tut Wuri” berarti “mengikuti dari belakang”, dan “handayani” berarti “mendorong, memotivasi, atau membangkitkan semangat”. Mendorong agar merdeka belajar perlu tapi sistem dan masalah di dasarnya jangan diabaikan, ibaratkan ingin membangun suatu gedung pondasi dasar haruslah diperhatikan agar ketika baday datang bangunan itu tetap kokoh berdiri. **

 1,095 total views

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *