DMI: PPKM Darurat Bentuk Tanggung Jawab Pemerintah Terhadap Keselamatan Masyarakat

Sekjen) Pengurus Pusat (PP) Dewan Masjid Indonesia (DMI) Drs. H. Imam Addaruqutni, MA. (Foto: Istimewa)

Jakarta – Pandemi Covid-19 masih merajalela. Sebaran virus mematikan asal Wuhan yang kini telah bermutasi dalam berbagai varian terutama varian Delta, membuat pemerintah Indonesia kembali menerapkan Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat sejak 3 Juli sampai 20 Juli 2021. Salah satu poin PPKM itu adalah menutup sementara seluruh rumah ibadah dan berbagai tradisi keagaman yang melibatkan banyak orang.

Sekretaris Jenderal (Sekjen) Pengurus Pusat (PP) Dewan Masjid Indonesia (DMI) Drs. H. Imam Addaruqutni, MA, mengatakan DMI sendiri sudah berkali-kali menyampaikan lewat media massa baik radio, media online, cetak dan televisi terkait aturan protokol kesehatan (prokes) di tempat ibadah. Tetapi memang kembali lagi, hal ini bergantung pada pola hidup manusianya sendiri.
“Kebijakan PPKM darurat ini tentu adalah bentuk tanggung jawab pemerintah terhadap keselamatan warga bangsa ini,” ujar Drs. H. Imam Addaruqutni, M.A., di Jakarta, Kamis (8/7/2021).

Imam menyebut, bahwa terkait dengan kemaslahatan seluruh umat warga bangsa ini, maka kaidahnya yakni ‘dar’ul mafasid muqaddamun ala jalbil mashalih’. Jadi menghindarkan bahaya itu harus diutamakan ketimbang mengambil maslahatnya atau kebaikannya atau ‘mashalih’. Jadi ‘mashalih’ adalah jabaran dari maslahat-maslahat.

“Sekarang kalau kita pergi lalu pola penyebaran Covid-19 itu melalui kerumunan manusia yang ada di dalam masjid atau tempat ibadah itu adalah jamaah, maka untuk sementara waktu orang tetap bisa menjalankan syariat itu di rumahnya masing-masing. Sebenarnya itu saja yang harus dipahami masyarakat,” tutur Imam.

Sebetulnya, lanjut Imam, hal ini tidak selalu berkaitan dengan soal radikalisme, tetapi ini pemahaman yang utuh mengenai apa yang disebut sebagai menjalankan syariat dengan ketika datang pada waktu yang sama dengan adanya bahaya wabah ini.

“Bahkan kita sudah sampaikan ke seluruh Pimpinan Wilayah-wilayah DMI, dimana untuk yang wilayah yang masuk zona merah, kami mengimbau untuk mengikuti saja kebijakan pemerintah ini,” jelasnya.

Ia mengungkapkan bahwa selamat manusia kalau dilihat dari sudut Al Ahkamul Khamsah atau lima hukum agama, maka ada pada ‘hifd ad-din’ atau menjaga agama dan ‘hifd an-nafs’ atau menjaga jiwa. Di mana kedua-duanya terjaga, dalam konteks syariatnya terjaga atau dijaga, kemudian menjaga kesalamatan jiwa juga terjaga dengan tidak ke masjid untuk sementara, terutama bagi yang wilayahnya dikenakan PPKM darurat atau masuk zona merah.

“Sebenanrya kalau zonanya tidak merah atau zona hijau saya kira tidak ada masalah, tetapi harus tetap dengan berhati-hati dan harus menerapkan protokol kesehatan disitu untuk mencegah menyebaran virus tersebut,” terang pria yang juga Wakil Rektor IV Bidang Pengembangan dan Kerjasama Institut PTIQ itu.

Ia juga mengingatkan bahwa daerah-daerah seperti yang dinyatakan sebagai daerah yang harus ditutup, tentu harus benar-benar ditutup dan aparatnya harus benar-benar hadir disitu. Dirinya mencontohkan kejadian di beberapa pasar yang ia temui, dimana sebagian orang tidak memakai masker bahkan tidak ada aparat yang menegakkan aturan selama PPKM darurat disitu.

“Sebenarnya aturan PPKM darurat ini sudah benar, tetapi bisa menjadi salah, bukan karena aturan tapi penegakannya. Jadi kalau ini sudah merupakan sebuah kebijakan, tentunya harus diikuti juga instrumen-instrumen penegakan,” tegasnya.

Selain itu, ia mengajak masyarakat mengikuti keteladanan dari pemimpinnya. Dengan kondisi speerti sekarang ini, perlu keteladanan yang baik dari para pemimpin negara dan pemuka agama agar masyarakat juga mematuhi.

“Jadi soal keteladanan pada dasarnya menurut saya ini di Indonesia sudah bagus. Siapapun dia, apakah dia dari golongannya atau bukan, kalau dia pemimpin tapi ada keteladanan tentu sudah pasti itu ada. Jadi kita harapkan hal itu tidak dicampur antara bagaimana kepatuhan orang pada pemimpin dengan kepatuhan orang pada suatu kebijakan itu,” ujar Imam.

Ia pun mencontohkan DMI pernah memberikan contoh dan edukasi terkait hal ini. Bahkan DMI adalah ormas yang pertama kali membicarakan Covid-19 ini secara internal dan mengundang beberapa orang membicarakan kemungkinan kemungkinan itu setelah ada dua kasus untuk dua orang yang ada di Depok dulu.

“Saat itu kita membuat edaran agar karpet masjid digulung, kemudian membuat jarak mulai diatur, jangan rapat-rapat. Itu saja kita sudah dikritik waktu itu. Tanggapannya saat itu ’dimana kita salat saja disuruh merapatkan barisan, kok ini malah disuruh memberi jarak’. Seperti itu kritiknya pada kami saat itu,” ungkap mantan Sekretaris Komisi Ukhuwah Islamiyah Majelis Ulama Indonesia (MUI) ini.

Mengenai edaran salat berjamaah seperti salat Jumat, Idul Fitri, Idul Adha, menurutnya untuk sementara waktu dilakukan di rumah juga sudah sering disampaikan oleh Dewan Masjid Indonesia untuk terus dingatkan kepada masyarakat, namun masih tetap saja mendapatkan kritikan pada saat itu.

“Itu saja kami dikritik dan memusuhi kami terus pada saat itu. Padahal kita ingin memberikan edukasi bahwa Covid-19 yang sangat berbahaya ini basisnya yaitu kerumunan dan kedekatan orang. Tapi itu terus kita lakukan agar ini juga diedukasi melalui suara sound system masjid agar para takmir-takmir masjid atau marbot-marbot masjid mengikuti perkembangan dan kemudian menyerukan masyarakat untuk benar-benar memperhatikan kesehatan,” ujarnya.

Intinya, ia menyampaikan bahwa antara kebijakan satu hal dengan proses edukasi masyarakat itu harus berjalan secara seimbang. Disamping itu ia juga menegaskan aparat penegak juga harus hadir sekaligus harus juga ada unsur edukatif. (BK/Man) 

 746 total views

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *