Kota Bekasi – Gilang, nama yang cukup singkat. Pria asal Kranji, Kota Bekasi yang sekarang berusia 23 tahun itu, biasa mencari nafkah bersama teman – teman sanggarnya dengan mengamen menggunakan ondel – ondel. Setiap hari mereka keliling Kota Bekasi dari jam satu siang hingga jam sebelas malam.
Gilang tidak memiliki pilihan lain untuk mencari rejeki, ia hanya mengandalkan ondel – ondel dari sanggar untuk bisa bertahan hidup di Kota Bekasi. Ia adalah anak pertama dari dua bersaudara. Adik –adiknya semua masih bersekolah. Pandemi yang belum usai di Bekasi membuat Gilang bingung mencari pekerjaan. Ia sebenarnya mau memilih pekerjaan lain selain menjadi pengamen ondel – ondel.
Pendapatan setiap harinya pun tidak pernah menentu mulai dari empat puluh ribu hingga paling besar yaitu lima puluh ribu. Ia terkadang juga sempat mengeluh, Cuma karena semangat dari teman – temannya yang tak pernah henti membuat Gilang masih menjadi pengamen. Penghasilan dari mengamen ondel – ondel biasanya digunakan untuk makan bersama – sama ataupun dibagi – bagi.
“Iya kalo pendapatan sih ga nentu, kadang empat puluh ribu, kadang lima puluh ribu,” kata Gilang.
Setiap hari Gilang bersama teman – temannya biasa mengamen di wilayah Bekasi tepatnya daerah Rawa Bamboo, Rawa Lumbu, Kayuringin, Pondok Gede, hingga Bantar Gebang. Wilayah yang dijumpainya cukup sangat jauh dari tempat ia tinggal.
Satu grup dalam mengamen ondel – ondel biasanya empat orang dan itu sudah ada bagian – bagiannya. Seperti, Gilang sebagai orang yang ada di dalam ondel – ondelnya dan teman – temannya satu sebagai pendorong alat musik, dua lagi sebagai penerima uang.
“Ia kalo ngamen biasanya berempat. Biasanya paling rame empat orang kalo sepuluh orang itu biasanya alat,” ujarnya.
Pandemi Covid-19 di Bekasi sendiri masih belum terselesaikan. Ia juga sebenernya khawatir dengan kesehatannya ketika mengamen, karena ia sering berintraksi dengan orang. Ia juga takut terpapar Covid -19. Selain itu pendapatan di pandemi ini, justru semakin menurun dibandingkan ketika sebelum adanya pandemi.
“Biasanya kalau lagi sepi mah dua puluh lima sampai tiga puluh ribu. Kalau pas belum korona tujuh puluh ribu rupiah,” kata Gilang lagi.
Sempat ada kabar jika pemerintah kota Jakarta yang melarang ondel – ondel dijadikan sarana mengamen, banyak juga dari anggota ondel – ondel di daerah Kranji merasa kecewa. Gilang dan teman – teman sanggarnya juga memang sudah mengetahui adanya larangan tersebut, memang karena kebutuhan yang tidak bisa ditinggalkan memutuskan untuk masih melanjutkan mengamen.
Rasa khawatir di hatinya ada, karena takut ondel – ondel benar – benar dilarang. Penghasilan gilang dan teman – temanya hanya dari mengamen saja, jadi mau tidak mau ia tetap terus bekerja sebagai pengamen ondel – ondel. Ia juga masih bingung mau bekerja apa lagi di Kota Bekasi.
“Iya kalau ditutup, mau cari duit dimana lagi, kalau udah engga ada ondel – ondel lagi mah. Jangan ditertipin,” jelas Gilang.
Gilang tahu jika ada larangan ondel – ondel dijadikan sarana mengamen. Cuma ia tidak ada pilihan lain. Mau tidak mau hanya mengandalkan onde- ondel saja untuk memenuhi kebutuhan Gilang sehari – hari. Gilang sebenarnya mau mencari pekerjaan yang lebih layak, karena memang pendapatan menjadi pengamen ondel – ondel tidak menentu.
Sementara Pak Namin, biasa dipanggil Baba Namin adalah seorang ketua sekaligus pengrajin miniature ondel – ondel asal Kranji, Kota Bekasi. Namin, kelahiran 1968 yang sekarang berusia 53 tahun itu, sudah sejak kecil ia mengenal ondel – ondel. Orang tuanya sudah menurunkan ondel – ondel sebagi mata pencarian. Karena, kecintaannya terhadap budaya Betawi membuat ia mendirikan sanggar (LKB) lembaga Kebudayaan Betawi di Kranji, Kota Bekasi. Sebelum mendirikan ia bergabung dengan sanggar seni Betawi yang ada di Kranji.
Sebelum pandemi sanggar yang didirikan Namin digunakan untuk event besar, pernikahan adat betawi, dan karnaval. Pendapatannya cukup besar sekitar satu juta sampai dua juta per event. Event yang biasanya dihadiri oleh sanggar LKB di Taman Mini dan Monas. Sanggar ini memiliki dua ondel-ondel, sepuluh anggota dan peralatan musik lengkap. Sejak pandemi sanggar LKB beralih menggunakan ondel-ondel menjadi sarana mencari nafkah dengan cara mengamen.
“Sejak pandemi ondel – ondel digunakan untuk mengamen oleh anak – anak untuk mencari uang jajan tambahan,” ujarnya.
Semenjak adanya pandemi Covid-19 pengasilan menurun drastis mengakibatkan Namin hanya mengandalkan pendapatan dari berjualan miniatur ondel – ondel. Ia tinggal bersama anak dan istrinya. Namin sebenarnya tidak mau membuat ondel – ondelnya dijadikan sarana mengamen, karena sanggarnya kini masih belum ada pemasukan membuat anak – anaknya memutuskan untuk mencari nafkah melalui ondel –ondel.
Sanggar LKB berisikan anak – anak asli dari Kranji dan ada juga yang dari budaya Jawa. Namin tidak pernah membeda – bedakan budaya. Ia justru senang jika ada anak – anak yang ingin tahu lebih dalam budaya betawi.
“Engga, soalnya juga ada dari jawa, dan sunda yang ingin ikut bergabung di sanggar ini,” kata Pak Namin.
Biasanya anak sanggar mengamen di daerah Sumarecon, Rawa Panjang, Kemang, Jatiasih, Pondok Gede, Pondok Ungu, dan Bantargebang. Mereka berangkat dari jam dua siang hingga jam sepuluh malam mendapatkan pengasilan tiga ratus ribu sampai lima ratus ribu per hari. Sebenarnya Namin tidak tega melihat anak – anaknya mengamen ke daerah – daerah yang cukup jauh karena sekarang masih ada pandemi.
“Iya, saya cuma mengingatkan anak – anak agar tidak arogan di jalanan, selalu menaati protokol kesehatan,” ujarnya.
Pemerintah kota Jakarta sudah melarang adanya pengamen ondel – ondel karena merusak kebudayaan Betawi. Mau tidak mau karena kebutuhan dari anak – anak sanggar membuat Namin memutuskan untuk membolehkan mengamen. Sebenarnya Namin sudah mengetahui jika ada larangan dari pemerintah.
“Saya setuju dengan adanya larangan pengamen ondel -ondel ditiadakan, kalau pengamen itu meresahkan masyarakat,” ucap Pak Namin
Namin berharap pandemi Covid-19 ini cepat berlalu agar sanggar dia bisa mendapatkan pengasilan seperti dahulu dan bisa memenuhi kebutuhan keluargnya. ***