Bekasi -KEHIDUPAN yang berat dan latar belakang pendidikan yang terbatas, membuat banyak orang memutuskan memilih hidup seadanya dan menjadi buruh harian untuk mendapatkan uang demi menyambung kehidupan. Memberanikan diri untuk berangkat ke kota besar, tidak bisa menjamin kehidupan yang dijalani akan lebih baik dari apa yang telah ditinggalkan di kampung halaman, salah satu diantaranya adalah manusia gerobak. Ada yang terpaksa melakukannya kemudian terbiasa dan nyaman dengan hidup yang apa adanya. Berikut ulasan hasil liputan investigasi mahasiswi Unisma Bekasi Syifa Fathia, Khairunnisa, dan Mutiara Fatimah kepada Koran Bekasi.
Ibu Juju misalnya, sebelumnya ia tinggal di dekat Lapas Cipinang Jakarta. Membesarkan anak-anak yang kian hari tumbuh besar sampai menikah dan meninggalkan ia dan sang suami. Hingga akhirnya pasangan suami istri ini memutuskan untuk melanjutkan hidup di Kota Bekasi, sebab tidak ingin merepotkan anak-anaknya. Karena biaya hidup yang semakin mahal, ia memilih untuk tinggal di sebuah gerobak dan berpindah-pindah tempat untuk mengais rezeki dari sisa-sisa sampah plastik, kardus bekas, kertas bekas, dan barang apapun yang memiliki nilai jual.
Bekerja dari pukul 11.00 siang sampai jam 17.00 sore, membantu membersihkan sampah-sampah plastik yang telah sang suami cari untuk disetorkan ke pengepul dan mendapatkan uang. Selain penghasilan yang bergantung pada seberapa banyak sampah plastik yang dikumpulkan, cuaca juga menjadi hambatan mereka untuk bertahan hidup. Rembesan air hujan yang masuk ke gerobak sudah menjadi hal yang biasa bagi ibu Juju dan suami.
“Kalau hujan ditutup pakai plastik gerobaknya, jadi saya tidur di dalam plastik. Nggak kehujanan sih, cuma air jatuh setetes-setetes. Kalau dingin, ya dingin. Habisnya kalau tidur tidak ada tempatnya kalau bukan di gerobak,” ujarnya.
Sampai saat ini, mereka memilih untuk menyembunyikan pekerjaan yang mereka tekuni dari anak-anaknya dan hanya bisa berjumpa dengan anak cucunya apabila berkunjung ke rumahnya yang berada di Jakarta.
“Yang paling tua berada di Ciputat, yang kedua berada di Gudang Peluru, yang ketiga berada di Alu-Alu, dan yang terakhir berada di Tanah Koja,” lanjutnya dengan tangan yang sedang menguliti label gelas plastik sambil bercerita.
“Nggak dikasih tahu mamahnya di sini. Anak-anak tahunya orang tuanya ada di Jakarta. Jangan sampai tahu juga,” katanya saat ditanya apakah anak-anaknya mengetahui keberadaannya.
Walaupun hidup dengan pas-pasan, masih banyak orang baik yang mau meringankan dan memberikan mereka bantuan berupa makanan dan uang agar mereka tetap bisa bertahan hidup.
“Alhamdulillah nenek banyak yang kasihan, dari mobil atau motor setiap hari Jumat. Ada yang ngasih nasi, kadang-kadang uang. Jadi setiap hari Jumat tidak masak karena selalu ada yang ngasih, tidak tahu dari mana saja itu. Alhamdulillah, terkadang dapat besek, nasi padang, nasi uduk, gado-gado, soto, apa saja ada kalau hari Jumat,” jelas Juju.
Selain itu Juju juga mengatakan barang-barang yang didapatkan untuk memasak, mencuci, dan minum berasal dari barang-barang yang telah dibuang atau ditinggalkan dan ditemukan oleh ia dan suaminya yang kemudian dibersihkan dan digunakan kembali.
Hal serupa juga dialami oleh Ibu Sri pada usia yang sudah tidak lagi muda. Sebelumnya, dia bekerja sebagai pencuci dan penyetrika baju dari rumah ke rumah. Namun karena tenaga yang sudah tidak bisa dipaksakan dan mendapatkan tawaran dari seseorang, ia memutuskan untuk bekerja sebagai pemulung dengan bermodalkan gerobak yang dipinjamkan dan imbalan tempat tinggal oleh pengepul sampah plastik. Ibu Sri biasa berkeliling di wilayah Rawalumbu untuk mengais gelas-gelas plastik di pinggir jalan.
Ia memiliki dua anak, satu berada di kampung bersama dengan kakak bu Sri, dan sisanya ikut dengan bu Sri dan suaminya tinggal di rumah milik pengepul. Ketika ia bekerja, maka suaminya akan menjaga anaknya di rumah, begitupun sebaliknya. Mereka selalu bergantian untuk bekerja dan mengurus anaknya.
Hal yang tidak jauh berbeda juga dialami oleh ibu Saodah yang memutuskan untuk hijrah ke Kota Bekasi 14 tahun yang lalu karena kecewa dengan kehidupan yang dijalani selama di kampung halaman. Hidup dengan delapan orang anak, tiga anak laki – laki yang telah menikah muda dan lima lainnya masih tinggal bersama ibu Saodah di kontrakan di kawasan Narogong.
“Kalau dulu ngewarung modalnya abis bles-bles karena tetangga ngambil aja giliran ditagih hilang. Kalau dagang di kampung utangnya banyak, dagangannya habis utangnya banyak, modal yang sudah dikeluarkan tidak balik lagi,” ujar bu Saodah.
Ia mengatakan telah beberapa kali berpindah tempat karena tidak nyaman dan mendapatkan beberapa gangguan, saat ini anak paling tua di rumah menempuh pendidikan sekolah menengah pertama dan harus mengasuh adiknya saat belajar, sedangkan mengais rezeki dengan gerobak ia akui membutuhkan modal awal yang besar.
Pekerjaan pemulung ini memang banyak sekali yang menganggap remeh. Bahkan salah satu putri ibu Saodah juga merasa malu melihat ibunya yang bekerja dengan mencari sampah plastik.
“Kalau ada saya lagi mencari sampah malu dia. Saya bilang, malu kenapa, mencari uang kok malu. Kamu yang harusnya malu. Ibu mah bekerja apa saja nggak masalah, yang penting bisa menghidupi keluarga,” jelas bu Saodah.
Saat memutuskan menjadi pemulung, ia dan suami mengeluarkan uang sebesar Rp700 ribu untuk membuat gerobak yang saat ini ia gunakan untuk mencari nafkah. Pendapatan rata-rata yang mereka terima Rp80.000 hingga Rp300.000, dibandingkan dengan tenaga yang harus dikeluarkan mendorong dan menarik gerobak rasanya cukup untuk menggambarkan betapa kerasnya kehidupan di kota besar dengan latar belakang pendidikan rendah dan usia yang sudah tidak lagi muda. Mereka semakin sulit bersaing untuk mendapatkan pekerjaan yang layak.
Pelajaran yang didapatkan dari mereka yang mau hidup di jalanan, senantiasa bersyukur dengan keadaan dan menggunakan barang yang ada dengan lebih bijaksana, adapun kemudahan dan ringannya pekerjaan yang mereka rasakan dengan bekerja mengumpulkan sampah plastik adalah salah satu dari banyaknya keuntungan yang ditawarkan oleh para pengepul sampah plastik. (BK/Zas)