Surakarta – Kemashlahatan umum merupakan kepentingan publik yang menjadi tujuan dari kebijakan suatu negara dan juga syariat agama. Maka negara melalui pemerintah (umara’) dan ulama harus memastikan berbagai aktifitas keagamaan dan kebangsaan sejalan dengan syariat untuk mencapai kemaslahatan bersama.
“Kebijakan pemerintah terkait persoalan keagamaan semisal pelaksanaan haji tentunya juga harus mempertimbangkan kemashlahatan, bukan hanya sekedar aspek peribadatan semata.
Utamanya dalam upaya mencegah penyebaran virus Covid-19, termasuk sebagai upaya untuk melindungi umat itu sendiri agar terhindar dari penyebaran virus Covid-19 tersebut,” ujar Dosen Pascasarjana bidang Program Studi Magister Pendidikan Agama Islam dari Universitas Nahdatul Ulama (UNU) Surakarta, ustad Dr.Amir Mahmud, M.Ag di Surakarta, Jumat (11/6/2021).
Amir menyebut sebenernya informasi pembantalan ibadah haji tahun 2021 ini sudah lama di beritakan dan bukan hanya di Indonesia saja, tapi juga terjadi seperti Pakistan, India , Italia dan beberapa negara lainnya.
“Pertimbangannya adalah memang adanya pandemi ini. Meskipun ada isu jamaah haji yang hendak berangkat harus mengikuti vaksin yang ditentukan oleh pemerintah Arab Saudi. Jadi sebenarnya keputusan pemerintah sudah tepat,” ucap Direktur Amir Mahmud Center yang bergerak dalam bidang kajian Kontra Narasi dan Ideologi dari paham Radikal Terorisme ini.
Ia menegaskan dengan dalih melindungi jiwa dari wabah global ini tentunya harus menjadi perhatian dan keputusan pemerintah, meskipun hal ini banyak ditentang oleh banyak masyarkat. Namun memang ia menyebut bahwa keputusan pemerintah tersebut justru menjadi kontroversi, menjadi pro-kontra. Banyak yang setuju, tetapi tak sedikit yang keberatan, mengkritik, bahkan mencaci pemerintah dan menyebar hoax.
“Hal inilah yang akhirnya justru menimbulkan berbagai narasi negatif bermunculan. Tidak sedikit yang menyalahkan pemerintah, bahkan menuding Kemenag tidak becus atas kebijakan ini. Karena itulah, diperlukan peran ulama dan umara untuk bersinergi dalam memastikan kemashlahatan umat itu terwujud,” terang peraih Doktoral bidang Studi Islam dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini.
Karena itu, Amir menyarankan agar dilakukan dialog melalui saluran yang sudah ada seperti lembaga pembinaan jama’ah haji dan lembaga kemasjidan, agar tidak ada tanggapan yang negatif. Tentu memang ia menyebut bahwa sebagian masyarakat atau kelompok tertentu yang kontra dengan keputusan pemerintah tersebut akan tetap mengecam dengan istilah dzhalim, pembuat dosa atau merusak nilai-nilai ajaran Islam.
“Sejatinya kita harus menguatkan pemahaman wawasan kebangsaan yang relijius, bahwa dalam ajaran Islam, menjaga jiwa harus dijadikan dasar pertimbangan utama dalam menetapkan hukum atau kebijakan oleh pemerintah jika tidak maka akan murka. Ini bukan pelarangan yang dimana tanpa sebab syariat. Itu yang harus difahamkan kepada masyarkat,” tegasnya.
Menurutnya, pemerintah harus tetap berpegang kepada prinsip kehidupan berdemokrasi dan berpegang kepada protokol kesehatan (prokes). Indonesia harus belajar dari kejadian di Malaysia, negara yang awalnya cepat dalam menangani dan mengatasi pandemi Covid-19, tetapi sekarang justru menjadi terpuruk pada hari ini.
“Jangan sampai Indonesia menjadi seperti itu. Jadi kalau ada hoax yang disebarkan oleh pihak yg tidak suka, jika memang menyimpang dan melanggar koridor hukum maka baginya akan dapat dijerat UU ITE. Untuk itu jangan memberikan staemen yang tidak sehat, karena negara dan dunia saat ini sedang mengalami pandemi yang sangat dahsyat,” ujarnya.
Amir menegaskan bahwa akan selalu ada hikmah dibalik peristiwa ini. Itu juga membuktikan bahwa dalam skala nasional bangsa ini dibutuhkan untuk saling memberikan yang terbaik dan saling memperteguh kebersamaan.
“Sebagai pelajaran bahwa bangsa ini harus mementingkan dan kepeduliannya kepada negara bukan kepada kepentingan para elit. Gunakan kecerdasan dari wawasan kebangsaan yang relijius,” Amir Mahmud. (BK/Gombol)